BANTUAN AMERIKA KEPADA MILITER INDONESIA (TNI)
PENDAHULUAN
Pengetatan bantuan Amerika Serikat di bidang pertahanan dan
keamanan kepada Indonesia telah memainkan peranan penting untuk mendukung
reformasi yang demokratis, untuk menjamin hak asasi manusia di Indonesia, dan
dalam penentuan kemerdekaan Timor Timur. Di bulan Nopember 2006, bersama dengan
beberapa lusin organisasi lain, ETAN menulis surat kepada Presiden Bush
“Pengetatan bantuan Amerika Serikat kepada militer Indonesia adalah kunci untuk
mendukung perkembangan yang nyata dan terbukti dalam reformasi pertahanan
keamanan, akuntabilitas (pertanggungjawaban), dan penghargaan atas hak asasi
manusia di Indonesia dan Timor-Leste.” Dalam laporan akhirnya, Comissão de
Acolhimento, Verdade e Reconciliação (CAVR)( Komisi untuk Penerimaan,
Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste) mengajak negara-negara asing yang
memberikan bantuan militer ke Indonesia untuk “mutlak mengkondisikan bantuan
itu dengan perkembangan menuju demokrasi penuh, subordinasi militer di bawah
hukum dan pemerintah sipil, dan kepatuhan penuh terhadap hak asasi manusia
internasional…”
Dengan pemungutan suara, Congress Amerika Serikat membatasi
pemberian International Military
Education and Training (IMET)(Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional)
kepada Indonesia sebagai tanggapan terhadap peristiwa pembantaian 270 penduduk
sipil oleh tentara Indonesia dengan senjata otomatis M-16 yang disediakan oleh
Amerika Serikat pada tanggal 12 Nopember 1991 di Santa Cruz (Pembantaian di
Santa Cruz). Hubungan militer semakin dibatasi sampai semua jalinan militer
dengan Indonesia diputuskan pada bulan September 1999 ketika militer Indonesia
dan milisi kaki-tangannya menyerbu Timor Timur. Segera setelah itu, Congress
melarang program pembiayaan militer asing dan semua program IMET sampai
sejumlah persyaratan dipenuhi, antara lain mewajibkan pemerintah Indonesia
untuk melakukan penuntutan hukum dan menjatuhkan hukuman atas para anggota
angkatan bersenjata yang terbukti bersalah karena melakukan pelanggaran hak
asasi manusia dan karena memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok milisi. Selanjutnya,
Congress juga membatasi ekspor peralatan pertahanan dan keamanan klasifikasi
“mematikan” ke Indonesia. Akan tetapi, sejak menduduki jabatan, Presiden Bush
telah melakukan upaya-upaya untuk membuka pembatasan legislatif dari Congress
tersebut. Hal mana berhasil dilakukan sepenuhnya di tahun 2006, ketika semua
pembatasan yang tersisa dihapuskan.
Pemulihan hubungan tidak mengakhiri kekebalan hukum para
personil angkatan bersenjata Indonesia dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan serius atas penduduk Timor Timur dan Indonesia, dari penolakan pihak
militer Indonesia atas kontrol dan pengawasan pemerintahan sipil, dari
kurangnya transparansi anggaran belanja, dan dari penekanan pihak militer atas
keamanan dalam negeri. Militer Indonesia tetap menolak upaya-upaya pembongkaran
sistem “komando teritorial” yang memampukan militer mempengaruhi administrasi
sipil dan politik, perdagangan, dan peradilan sampai ke tingkat pedesaan.
Tuntutan untuk mengakhiri kerajaan bisnis militer, telah menjadi lelucon, dan
militer tetap terlibat dalam sejumlah besar bisnis ilegal. Di Papua, di mana akses ke dunia luar
dibatasi, pelanggaran hak asasi meliputi kejadian-kejadian dimana penduduk
sipil dijadikan sasaran operasi militer dan juga dimana para aktivis cinta-damai
ditahan karena pandangan politiknya.
Dengan kemerdekaannya di bulan Mei 2002, Timor Timur berhak
atas bantuan pertahanan dan keamanan dari Amerika Serikat. La’o Hamutuk,
seorang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Timor Timur, menulis bahwa krisis politik dan keamanan di
Timor Timur “menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai pelatihan militer yang
diberikan oleh Amerika Serikat, Korea Selatan, Portugal, Malaysia, dan beberapa
negara lain, demikian juga halnya dengan penasihat-penasihat internasional
dalam institusi-institusi Timor Timur serta dalam angkatan bersenjata (F-FDTL)
dan kepolisian.”
Berikut ini adalah deskripsi beberapa program utama yang
diberikan oleh Amerika Serikat kepada militer dan kepolisian Indonesia dan
Timor Timur:
PERLENGKAPAN MILITER
FMF: Foreign Military Financing (Pendanaan bagi Militer
Asing)
FMF menyediakan dana dan pinjaman bagi pemerintah asing
untuk pembelian perlengkapan militer dan jasa terkait. FMF diatur oleh State
Department (catatan: disebut juga Department of State adalah Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat yang dikepalai oleh seorang Secretary of State/State
Secretary atau Sekretaris Negara) akan tetapi pelaksanaan hariannya dilakukan
dengan pengawasan dari Defense Department (catatan: disebut juga Department of
Defense, adalah Departemen Pertahanan Amerika Serikat). FMF untuk Indonesia
dihentikan sementara waktu di tahun 1999 setelah militer Indonesia melakukan
kampanye teror atas penduduk Timor Timur, akan tetapi dibuka kembali pada tahun
2006. Pada bulan Nopember 2005, dalam
waktu 48 jam setelah larangan ditetapkan oleh Congress, Secretary of State
Condoleezza Rice mementahkan larangan yang dimandatkan oleh Congress atas FMF.
Walaupun di tahun 2005 Indonesia tidak menerima FMF, akan tetapi di tahun 2006
Indonesia menerima US$990.000. Pemerintahan Bush memintakan US$6.500.000 dana
FMF bagi Indonesia untuk tahun 2007. Permintaan untuk tahun 2008 adalah sebesar
US$15.700.000 (lebih dari dua kali lipat permintaan untuk tahun 2007), yang
menurut State Department ditujukan “bagi Indonesia untuk mewujudkan reformasi
militer dan untuk meningkatkan keamanan laut, kontra-terorisme, mobilitas, dan
kemampuan untuk mengatasi keadaan bahaya.”
Timor Timur juga telah menerima FMF. Di tahun 2004, dana FMF
yang disediakan adalah sebesar US$2.420.000; di tahun 2005 sebesar US$1.023.000
dan sebesar US$990.000 di tahun 2006. Untuk tahun 2007 State Department juga
meminta US$500.000 bagi pembangunan angkatan bersenjata Timor Leste, akan
tetapi tidak ada permintaan bagi tahun 2008.
FMS: Foreign Military Sales (Penjualan kepada Militer Asing)
Melalui FMS, Defense Department melakukan penjualan senjata secara langsung
kepada pemerintah negara asing. Ini berbeda dari DCS (penjualan antara
pemerintah dengan korporasi) dan dari FMF (dimana dana dan pinjaman diberikan
untuk membeli senjata melalui FMS maupun DCS). Khususnya di tahun 1976 (awal
pendudukan ilegal Indonesia atas Timor Timur) FMS yang dilakukan dengan
Indonesia besar jumlahnya. Demikian juga di tahun 1986 (dalam masa Pemerintahan
Presiden Ronald Reagan).
Karena pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius di
tahun 1990-an, penjualan ke Indonesia sempat dihentikan. Akan tetapi, di bulan Mei 2005, Secretary of
State Condoleeza Rice mengumumkan bahwa Penjualan FMS atas senjata klasifikasi
“tidak mematikan” akan dibuka kembali. Pada bulan Nopember tahun yang sama, ia
menyatakan tidak berlakunya semua persyaratan hak asasi manusia yang
dimandatkan oleh Congress dengan alasan “keamanan nasional”. Saat ini tidak ada
pembatasan legislatif atas pembelian senjata oleh militer Indonesia.
Timor Timur merdeka pertama kali menerima FMS di tahun 2003
sejumlah US$1 juta. Pada tahun 2004, ditingkatkan menjadi US$1.990.000 dan di
tahun 2005 menjadi US$2.051.000. Sebagaimana biasanya, jumlah yang pada
kenyataannya diterima adalah kurang dari angka-angka tersebut: US$958.000 di
tahun 2003 dan US$24.000 berturut-turut di tahun 2004 dan 2005.
DCS: Direct Commercial Sales (Penjualan Komersial Langsung)
Terdapat dua saluran utama melalui mana pemerintah negara
asing dapat membeli peralatan militer dari Amerika Serikat: Direct Commercial Sales (DCS) dan Foreign
Military Sales (FMS). DCS adalah transaksi antara pemerintah dengan korporasi (badan
usaha swasta). FMS adalah transaksi antar pemerintah. (Pembelian melalui
saluran-saluran tersebut dapat didanai dengan Foreign Military Financing yang
menyediakan dana atau pinjaman untuk pembelian peralatan militer). State
Department mengawasi pelaksanaan program DCS, yang didanai oleh Arms Export
Control Act (Undang-undang Kontrol Ekspor Persenjataan). Undang-undang ini
(sebagaimana juga Foreign Assistance Act atau Undang-undang Bantuan Luar
Negeri) menyediakan kerangka hukum bagi penjualan persenjataan dan servis
terkait melalui saluran korporasi, dalam bentuk peraturan mengenai cara
mendapatkan ijin ekspor. Sejak tahun 1970-an Indonesia telah membeli
persenjataan senilai ratusan juta dollar melalui DCS. Patut dicatat bahwa pada
tahun fiskal (pajak) 1978, ketika keadaan di Timor Timur sangat buruk akibat
invasi dan pendudukan oleh Indonesia, otorisasi penjualan komersial sebesar
US$112 juta dari Amerika Serikat telah diberikan kepada Indonesia – ini 2000%
(dua ribu persen) peningkatan dari otorisasi yang diberikan tahun sebelumnya
sebesar US$5,8 juta. Setelah Referendum di tahun 1999 diikuti oleh pertumpahan
darah, untuk sementara waktu DCS dihentikan dengan Perintah Presiden. Di bulan
Januari 2005, penjualan komersial persenjataan klasifikasi “tidak mematikan”
dan persediannya dibuka kembali, dan dalam tahun fiskal yang sama diperkirakan
sebesar US$51.626.913 dalam bentuk lisensi diberikan kepada Indonesia. Di bulan
Maret 2006 larangan penjualan persenjataan klasifikasi “mematikan” ke Indonesia
dihapuskan. Karena sekarang ini tidak ada pembatasan legislatif terhadap
bantuan militer ke Indonesia, DCS akan terus menjadi sumber utama persediaan
militer bagi Indonesia.
EDA: Excess Defense Articles (Surplus/Kelebihan Persediaan
Peralatan Hankam)
Angkatan bersenjata Amerika Serikat dapat melakukan transfer
EDA melalui Pasal 516 Foreign Assistance Act (Undang-undang Bantuan Luar
Negeri). EDA terdiri atas beragam surplus atau kelebihan persediaan militer
yang meliputi seragam sampai dengan pesawat terbang. Peralatan tersebut dapat
diberikan atau dijual dengan potongan harga kepada negara-negara asing.
Transaksi EDA dikoordinasikan oleh sejumlah badan dalam tubuh militer: Security
Assistance Organizations (Organisasi-Organisasi Bantuan Keamanan), Defense
Cooperation Agency (Badan Kerjasama Pertahanan dan Keamanan), dan para aparat
angkatan bersejata. Antara tahun 1998
sampai dengan 2005, Indonesia tidak menerima EDA, dan sebatas pengamatan
publik, sampai dengan tahun 2006 tidak ada transfer EDA. Akan tetapi, di tahun
2005 EDA atas persenjataan klasifikasi “tidak mematikan”, diperbolehkan sebagai
bagian dari kebijakan Pemerintahan Bush untuk memulihkan hubungan militer
dengan Indonesia.
Sejak tahun 2005 Timor Timur berhak atas EDA, akan tetapi
sejauh ini tidak terdapat transfer.
Section 1206 (Pasal 1206)
Pasal 1206 National Defense Authorization Act (Undang-undang
Otorisasi Pertahanan dan Keamanan Nasional) pada mulanya dibuat bagi Pentagon
untuk mendanai pelatihan dan persediaan bagi angkatan bersenjata dan kepolisian
di Irak dan Afganistan tanpa melibatkan State Department. Selanjutnya cakupan
program tersebut diperluas, mengijinkan Pentagon untuk menggunakan sebesar
beberapa ratus juta dollar setiap tahun untuk membantu militer di negara-negara
lain termasuk Indonesia, dengan persetujuan dari State Department. Laporan GAO
bulan Maret 2007 menyebutkan bahwa di tahun 2006, hanya 5 dari 14 proposal
dalam program tersebut, yang sebelum diperiksa di Washington, dikoordinasikan
dengan kedutaan-kedutaan besar negara asing penerima bantuan. Dalam hal 5
negara asing lainnya, Pentagon tidak memberikan informasi kepada kedutaan besar
masing-masing negara asing tersebut mengenai rencana pemberian bantuan militer,
sampai saat pemberitahuan ke Congress mengenai proyek-proyek yang dijalankan. Indonesia
menerima sebesar US$18,4 juta dana Pasal 1206 di tahun 2006.
Pada akhir bulan Mei, sebuah koalisi menulis kepada Senat
untuk menentang Building Global Partnership Act of 2007 (Undang-undang
Pembangunan Kemitraan Sedunia tahun 2007), yang lahir dari Pasal 1206.
Undang-undang tersebut memberikan kewenangan tetap kepada Department of Defense
untuk menghabiskan sebesar US$750 juta setiap tahun untuk membantu
pemerintah-pemerintah asing membangun angkatan bersenjata, kepolisian, dan
aparat pengamanan dalam negeri.
PELATIHAN MILITER
IMET: International Military and Education Training
(Pelatihan Pendidikan Militer Internasional)
Program IMET diciptakan pada tahun 1976 and menjadi saluran
utama dengan mana Amerika Serikat melatih aparat militer asing. IMET diawasi
oleh State Department dan diimplementasikan oleh Defense Department. Militer
Indonesia telah menjadi salah satu penerima utama dana IMET. Setelah invasi
Indonesia ke Timor Timur sampai dengan tahun 1991, lebih dari 2.600 tentara
Indonesia menerima IMET. Di bulan Oktober 1992, setelah peristiwa berdarah
Pembantaian Santa Cruz di tahun 1991, Congress menghentikan dana IMET untuk
tahun fiskal 1993-1996. Akan tetapi, pada tahun 1995 sejumlah dana IMET
dialokasikan melalui sub-program Expanded-IMET (IMET yang Diperluas Cakupannya)
(Lihat Bagian mengenai E-IMET). Demikian juga setelah kampanye teror pihak
militer Indonesia dijalankan sekitar Referendum tahun 1999, semua bantuan
militer Amerika Serikat dihentikan sementara. Di tahun 2000, karena “Leahy
Amendment” atas Foreign Operations Appropriations Act (Undang-Undang
Appropriasi Operasi Luar Negeri), semua bantuan militer untuk Indonesia
dikondisikan dengan pemulangan puluhan ribu pengungsi Timor Timur,
akuntabilitas atas kejahatan atas hak asasi manusia dan persyaratan-persyaratan
lainnya. Di tahun 2003 dan 2004, pemulihan IMET secara penuh dikondisikan atas
kerjasama Indonesia dengan penyelidikan yang dilakukan oleh FBI (Federal Bureau
Investigation) atas pembunuhan dua warga negara Amerika Serikat dan satu warga
sipil Indonesia di Timika, Papua Barat pada tahun 2002. Akan tetapi, di tahun
2005, Pemerintahan Bush membuka secara penuh dana IMET bagi Indonesia sekalipun
upaya pendataan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Indonesia yang
dilakukan oleh State Department dan penyelidikan atas peristiwa Timika, belum
tuntas. Dari tahun 2002 sampai dengan 2005 Indonesia menerima hampir US$2 juta
dana IMET. Di tahun 2006, Indonesia menerima US$938.000 dana IMET. Pemerintahan
Bush meminta US$1.285.000 untuk tahun 2007, dan US$974.000 untuk tahun 2008.
Timor Timur juga menerima dana IMET. Disebutkan bahwa
tujuannya adalah untuk “mendukung tujuan Amerika Serikat bagi kemandirian,
bantuan kemanusiaan dan manajemen keadaan bahaya, serta pengembangan angkatan
bersenjata profesional dan efektif di Timor Timur.” Di tahun 2005 sejumlah
warga Timor Timur menghadiri pelatihan IMET dalam kursus-kursus seperti
“Prinsip-Prinsip Elektronika”, dan “Bahasa Inggris-Amerika”. Selama tahun
2002-2005, Timor Timur menerima US$648.000 dana IMET yang diberikan kepada 216
orang siswa. Untuk tahun 2006, sebesar US$193.000. Untuk tahun 2007 sejumlah
US$320.000 dan tahun 2008 sebesar US$400.000 telah dimohonkan oleh Pemerintahan
Bush bagi Timor Timur.
E-IMET: Expanded International Military Education and
Training (Pelatihan Pendidikan Militer Internasional yang Diperluas Cakupannya)
E-IMET adalah sub-program dari IMET, merupakan program dari
State Department yang diimplementasikan melalui Department of Defense. Semua
dana IMET bagi Indonesia dihentikan setelah peristiwa Pembantaian Santa Cruz
tahun 1991, akan tetapi diamandemen di tahun 1995 sehingga melalui program
E-IMET Indonesia menerima bantuan untuk tahun 1996. E-IMET diciptakan di tahun
1991 untuk melatih para anggota militer dan kemudian juga untuk penduduk sipil
dalam bidang manajemen, hubungan sipil-militer, dan pemeliharaan perdamaian. Di
bulan Juni 1997, Presiden Soeharto secara singkat menolak bantuan E-IMET,
keberatan dengan kritik Amerika Serikat tentang pelanggaran hak asasi manusia
dan dengan pembatasan-pembatasan bentuk-bentuk bantuan militer lainnya.
Keikutsertaan Indonesia secara teratur dalam program E-IMET bertahun-tahun
sebelum Referendum kemerdekaan Timor Timur, tidak menghalangi militer Indonesia
untuk melakukan kampanye kekerasan dan penghancuran di tahun 1999. Setelah
peristiwa tahun 1999 itu, semua bantuan militer Amerika Serikat kepada
Indonesia dihentikan. Akan tetapi, sekalipun program IMET reguler bagi
Indonesia tetap dihentikan, E-IMET untuk Indonesia dipulihkan di tahun
2002.
Sejumlah IMET yang diterima oleh Timor Timur dilakukan
melalui E-IMET.
JCET: Joint Combined Exchange Training (Pelatihan Pertukaran
Gabungan Terpadu)
Program JCET memberikan pelatihan personil militer asing
melalui anggaran Special Operation Forces (Unit Operasi Khusus) dari Defense
Department. Dinyatakan bahwa tujuan program tersebut adalah untuk melatih
Special Operation Forces Amerika Serikat, dengan personil militer asing sebagai
penerima sekunder. Pentagon melatih personil militer Indonesia melalui JCET
dari tahun 1992 sampai dengan 1997, sekalipun Congress jelas-jelas melarangnya.
Selama periode tersebut militer Indonesia, termasuk KOPASSUS yang terkenal
keburukannya itu, berpartisipasi dalam 36 pelatihan JCET yang meliputi
topik-topik seperti “Teknik Penembak Jitu tingkat Mahir” dan “Operasi
Psikologis”. Di tahun 1998 Pentagon menghentikan bantuan JCET untuk Indonesia,
akan tetapi di tahun 2005 bantuan tersebut dibuka kembali.
CTFP: Regional Defense Counterterrorism Fellowship Program /
Regional Defense Combating Terrorism Program (Program Kerekanan Pertahanan dan
Keamanan untuk Kontra-Terorisme Regional / Program Memerangi Terorisme dan
Pertahanan Regional)
Dana bantuan CTFP pertama kali disediakan di awal tahun
2002, setelah peristiwa 11 September serangan di Amerika Serikat, dan dijadikan
permanen dalam National Defense Act (Undang-Undang Otorisasi Pertahanan
Nasional ) tahun 2004 (Ini adalah peraturan hukum tahunan yang memuat kebijakan
dan plafon/batas pengeluaran bagi Pentagon). Program ini diciptakan untuk
menghindari larangan terhadap IMET sehubungan dengan Indonesia, dan
ditingkatkan menjadi sumber utama pelatihan militer seluruh dunia. Di tahun
2004, CTFP mendapatkan otorisasi untuk mendanai pelatihan klasifikasi “mematikan”.
Di tahun 2006, sejumlah 2.845 aparat keamanan dan militer menerima pelatihan
melalui program tersebut. Selama tahun
2007, Congress berhasil mendapatkan jumlah total US$20 juta bagi program CTFP.
Defense Authorization Act tahun 2007, memberikan otorisasi bagi peningkatan
dana bagi program tersebut (sampai sejumlah US$25 juta) dan secara resmi
mengganti namanya menjadi Regional Defense Combating Terrorism Program (Program Pertahanan Regional Memerangi Terorisme).
Karena CTFP didanai melalui anggaran belanja militer (bukan
anggaran belanja bagi bantuan luar negeri), program tersebut tidak perlu
mengikuti standar hak asasi manusia yang lebih ketat sebagaimana dimandatkan
oleh Congress bagi program-program bantuan internasional yang diselenggarakan
oleh Department of State. (Laporan tahun 2006 mengenai Akuntabilitas Pemerintah
menyebutkan bahwa sejumlah penerima Pelatihan CTFP di Maroko dan Tunisia belum
diperiksa kelayakannya sehubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia,
sekalipun State Department melaporkan bahwa kedua negara tersebut mempunyai
catatan pelanggaran hak asasi manusia yang serius). Dari tahun 2002 sampai
dengan 2004, Indonesia telah menerima
dana CTFP dalam jumlah melibihi negara-negara penerima lainnya dan dua kali
lebih besar daripada Pilipina sebagai penerima terbesar urutan kedua. Di tahun
2005 Indonesia menerima sebesar US$878.661 dana CTFP, sebesar US$715.844 di
tahun 2006, dan untuk tahun 2007 sebesar US$525.000 telah direncanakan.
Regional Centers for Security Studies (Pusat Regional bagi
Studi Pertahanan dan Keamanan)
Department of Defense mengelola 5 Regional Centers for
Security Studies (Pusat Regional Studi Pertahanan dan Keamanan). Tujuan
utamanya adalah untuk membangun hubungan antara perwira Amerika Serikat dengan
perwira dari negara-negara lain. Siswa-siswa Indonesia secara teratur
menghadiri kursus dan seminar di Asia-Pacific Center for Security Studies
(APCSS) (Pusat Studi Hankam Asia Pasifik) di Hawai. APCSS dimulai di tahun 1995
dan ditujukan bagi para eksekutif militer, mempertemukan mereka dengan para
pembuat kebijakan dan lain-lain pihak untuk membicarakan isu-isu regional dan
strategi hankam. Salah satu kursus yang diberikan adalah Comprehensive Security
Responses to Terrorism (Respon Terpadu Hankam atas Terorisme), yang bertujuan
untuk “untuk jangka waktu panjang bersama-sama memerangi dukungan idiologis
terorisme.” Kursus-kursus lainnya berfokuskan pada topik-topik keadaan darurat
dan stabilitas regional.
Dana bagi Regional Centers sejumlah besar datang dari
Defense Department dan sejumlah kecil didapatkan dari sumber-sumber lain,
tergantung lokasi Regional Center dan programnya. Sejumlah 24 siswa dari
Indonesia dilatih di Regional Centers pada tahun 2004, dan sejumlah 16 orang di
tahun 2005. Untuk tahun 2008 Defense Security Cooperation Agency (Agensi
Kerjasama Hankam)(yang melakukan pengelolaan sejak tahun 2006) mendesak
“transformasi”, merubah orientasi “akademik” menjadi “penjangkauan” dan
menyesuaikan program-program yang telah ada dengan agenda Global War on Terror.
Tujuan “penjangkauan” ini dimaksudkan untuk “mendukung kehadiran fisik nyata”
di setiap regio dimana sebuah Center berada. Di tahun 2006 Defense Department
menghabiskan sebesar US$68.097.000 dan memperkirakan bahwa sebesar
US$79.625.000 akan dihabiskan untuk tahun 2008.
Joint Military Exercises and Other Activities (Latihan
Militer Bersama dan Aktivitas Lainnya)
Indonesia ikut serta dalam berbagai latihan militer bersama
dengan Amerika Serikat. United States Pacific Command Theatre Security
Cooperation Program (Program Kerjasama Pertahanan Keamanan Komando Pasifik
Amerika Serikat) telah menyelenggarakan 85 kegiatan di tahun 2004, dan di tahun
2005 Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengantisipasikan bahwa personil
militer Indonesia akan mengambil bagian dalam 132 aktivitas bersama. Aktivitas
itu akan berfokus pada “seminar kontra-terorisme untuk mendukung kerjasama
dalam pertahanan keamanan dan pertukaran tenaga ahli.”
Personil angkatan bersenjata Indonesia juga telah ikutserta
dalam program Cooperation Afloat and Readiness Training (CARAT)(Pelatihan
Kesigapan dan Kerjasama di Laut), yang adalah serangkaian pelatihan militer
bilateral yang berskala regional. CARAT di tahun 1998 dibatalkan setelah
Congress mempermasalahkan JCET. Letnan Kolonel Willem membantu koordinasi angkatan laut Indonesia
dalam CARAT pada bulan Agustus 1999 dan kemudian mengunjungi Dili sebagai
pejabat senior di kantor pusat militer KOREM
darimana milisi pengacau Dili dioperasikan. Di dalam pelatihan CARAT
pada tahun 2005, personil militer Indonesia mempelajari “keahlian yang secara
langsung dapat diaplikasikan untuk memerangi ancaman terorisme di laut dan
kejahatan trans-nasional di laut.” Menurut Angkatan Laut Amerika Serikat, di
tahun 2006 sekitar 2000 personil dari Amerika Serikat dan Indonesia
berpartisipasi dalam pelatihan CARAT dalam beberapa skenario “termasuk
pencarian, penggeledahan dan penyitaan… demonstrasi, operasi amfibi, penyelaman
dan penyelematan kapal, serta taktik perlindungan bagi armada kapal kecil.”
Komandan KOPASSUS Mayor Jenderal Syaiful Rizal yang terkenal catatan buruknya
dalam hal hak asasi manusia, juga berpartisipasi dalam konferensi Pacific Area
Special Operation (Operasi Khusus Area Pasifik) di tahun 2006.
Di bulan April 2007, Mayor Jenderal Noer Muis dari Indonesia
berpartisipasi dalam Garuda Shield (Perisai Garuda) tahun 2007 di Bogor, Jawa
Barat. Garuda Shield merupakan pelatihan gabungan seukuran brigade yang
dilakukan sejak tahun 1997. Muis diadili dan dinyatakan bersalah di tahun 2003
karena kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
atas peranannya dalam serangan brutal atas Keuskupan Dili dimana Uskup Belo
berdiam dan juga atas Pembantaian Gereja Suai di bulan September 1999. Putusan
bersalah dan hukuman 5 tahun penjara yang dijatuhkan tersebut, dibatalkan di
tingkat banding yang prosesnya sangat patut dipertanyakan. Pada tanggal 24
Pebruari 2003, Muis bersama dengan beberapa pejabat senior lain diadili di Timor
Timur oleh lembaga peradilan yang didukung oleh Perserikatan Bangsa Bangsa
untuk kejahatan serius.
Indonesia juga menjadi pengamat dalam program Cobra Gold
sejak tahun 2000 dan ambil bagian untuk pertama kali di tahun 2006. Cobra Gold
dilakukan sekali setahun, dan terutama dilakukan dengan Thailand. Di tahun 2006
dan 2007 Indonesia juga berpartisipasi dalam latihan pemeliharaan perdamaian
Khaan Quest dengan Mongolia sebagai tuan rumah.
Di akhir bulan Maret 2007, satuan marinir dari Indonesia dan
Amerika Serikat menandatangani kesepakatan untuk melakukan latihan militer
bersama. Lebih dari 700 marinir dua negara tersebut mengambil bagian dalam
Naval Engagement Activity (NEA)(Aktivitas Keikutsertaan Angkatan Laut) yang
pertama. Ini adalah latihan di dalam wilayah pelabuhan yang meliputi serangan
amfibi, operasi susur sungai, hukum yang berlaku dalam konflik senjata, hukum
yang berlaku dalam pertempuran, pertolongan dalam bencana, bantuan kemanusiaan,
dan pembajakan.
Global Peace Operations Initiative (Inisiatif Operasi
Perdamaian Global)
Global Peace Operations Initiative adalah program lima
tahunan yang bersifat multilateral untuk melatih dan memperlengkapi sejumlah
total 75.000 pasukan bagi misi pemeliharaan perdamaian sampai dengan tahun
2010. Program tersebut pertama kali diciptakan untuk Afrika pada tahun 2004 dan
diperluas jangkauannya ke wilayah Asia Pasifik mulai tahun 2005. Pada tahun
2006 Indonesia memperoleh kesempatan mengirim 4 orang personil bagi pelatihan
ini. Jumlah personil asal Indonesia meningkat melebihi 160 orang di tahun 2006
dan 2007. Di tahun 2006, Global Peace Operations Initiative juga mendanai
transportasi dan logistik pasukan Indonesia yang dikirim ke Libanon.
Section 1004 Counter Drug Assistance (Pasal 1004 Bantuan
untuk Kontra Obat-Obat Terlarang)
Pasal 1004 dari National Defense Authorization Act
(Undang-undang Otorisasi Hankam Nasional) mengalokasikan dana bagi upaya-upaya
anti-narkotika, pengalihan senjata klasifikasi “tidak mematikan”, konstruksi,
dan bentuk-bentuk bantuan lainnya. Program tersebut terkenal sebagai sumber
utama bantuan militer ke Amerika Latin, namun juga digunakan bagi negara-negara
di regio selain Amerika Latin. Pasal 1004 didanai melalui Defense Department.
Sebagaimana program-program lainnya seperti contohnya IMET, program ini pun
kurang pembatasannya. Sampai tahun 2001 Congress tidak mewajibkan dana-dana
Pasal 1004 untuk diakuntasikan, dan dalam kurun waktu 2003 sampai dengan 2005
tidak mewajibkan pelaporan. Defense
Authorization Act tahun 2006 mensyaratkan kewajiban pelaporan, akan tetapi
laporan yang ada hanya meliputi informasi dana yang diberikan untuk upaya
konstruksi. Laporan bulan Juni 2006 menyebutkan bahwa sejumlah US$1,06 juta
telah digunakan untuk 2 proyek di Indonesia.
Beberapa pihak mengatakan bahwa Pasal 1004 digunakan untuk
menghindari pembatasan bantuan militer bagi negara-negara dengan catatan hak
asasi manusia yang bermasalah. Di tahun 1999 Human Rights Watch melaporkan
bahwa sejumlah aparat Meksiko penerima pelatihan yang dibiayai dengan dana
Pasal 1004 sebelumnya sudah terlibat dalam aksi-aksi penganiayaan. Meskipun di
tahun 2005 tidak ada dana Pasal 1004 yang diberikan kepada Indonesia untuk
kepentingan pelatihan, namun diperkirakan bahwa di tahun 2006 sekitar 120 siswa
Indonesia menempuh pelatihan yang didanai dengan program ini. Di tahun 2005,
sejumlah US$1.016.000 dana Pasal 1004 disediakan bagi Indonesia untuk membantu
konstruksi pusat-pusat pelatihan, termasuk juga sejumlah US$354.000 untuk
konstruksi Pusat Pelatihan Polisi Perairan di Jakarta. Pada bulan Oktober 2007
program tersebut diperbaharui sampai dengan tahun 2011.
PELATIHAN DAN PERLENGKAPAN BAGI ANGKATAN KEPOLISIAN
ESF: Economic Support Fund (Dana Pendukung Perekonomian)
Menurut State Department, program ESF menyediakan dana bagi
negara-negara asing dengan tujuan mewujudkan stabilitas, pembangunan, dan
keamanan. Dana melalui ESF disediakan
dalam konteks pencapaian tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat
yang lebih luas, dan karenanya hanya sebagian kecil yang dialokasikan bagi
angkatan bersenjata, itu pun biasanya angkatan kepolisian. Antara tahun 2001
sampai 2004, Amerika Serikat menyediakan US$23,2 juta ESF untuk mendukung
angkatan kepolisian Indonesia. Di tahun 2005 Indonesia menerima US$68.480.000
ESF; Di tahun 2006 sebesar US$69.300.000. Permintaan di tahun 2007 adalah
US$80.000.000 dan US$60.000.000 telah dimintakan untuk tahun 2008.
Timor Timur juga menerima ESF. Menurut State Department,
tidak ada dana ESF yang digunakan untuk pelatihan angkatan kepolisian di Timor
Timur. Akan tetapi USAID menyediakan “dukungan kepada pemerintah dan
badan-badan dalam dewan perwakilan rakyat yang bertanggungjawab untuk melakukan
pengamatan dan pengawasan serta penjaminan bahwa penduduk sipil mengetahui
tanggung jawab polisi dan militer serta hukum yang berlaku.
Antara tahun 1999 sampai dengan 2004 Timor Timur memperoleh
US$165 juta dari ESF, yang meliputi US$23.036.000 di tahun 2004. Disebutkan
bahwa tujuan dari bantuan ini adalah untuk “mendukung perkembangan masyarakat
madani, demokrasi, dan lembaga ekonomi di Timor Timur…” Tujuan yang dicanangkan
oleh USAID bagi Timor Timur untuk tahun 2005-2009 adalah untuk menolong negara
tersebut tumbuh sebagai “sebuah model bagi negara-negara berkembang, demokrasi
yang dewasa dengan perekonomian bebas yang sejahtera”. Di tahun 2005 Timor
Timur menerima sebesar US$21.824.000 ESF. Di tahun 2006 Congress mendapatkan
sebesar US$18.810.000 bagi Timor Timur. Untuk tahun 2007 Pemerintahan Bush memohonkan
sebesar US$13.500.000 dan untuk tahun 2008 sebesar US$8.640.000.
ICITAP: International Criminal Investigative Training and
Assistance Program (Program Pelatihan dan Bantuan Penyidikan Tindak Pidana
Internasional)
ICITAP diselenggarakan oleh Departement of Justice
(DOJ)(Departement Kehakiman Amerika Serikat)
untuk melatih angkatan kepolisian dan aparat kehakiman asing. Tujuannya
adalah “perkembangan angkatan kepolisian dalam konteks operasi menjaga
perdamaian internasional” dan “peningkatan kemampuan angkatan kepolisian di
negara-negara demokrasi muda.” Indonesia pertama kali menerima dana ICITAP di
tahun 1999. Jumlah bantuan ini ditingkatkan setelah angkatan kepolisian
dipisahkan dari angkatan bersenjata di bulan Juli 2000. DOJ menjelaskan bahwa tujuan
utama ICITAP di Indonesia adalah membantu “transisi dari angkatan bersenjata
menjadi badan sipil yang berkomitmen untuk secara demokratis mengawasi
praktek-praktek dan standar internasional bagi perlindungan hak asasi manusia.”
Akan tetapi, telah timbul keragu-raguan mengenai komitmen “perlindungan hak
asasi manusia” dalam pelatihan-pelatihan ICITAP. Sebuah laporan dari Government
Accountability Office (Kantor Akuntabilitas Pemerintah) Amerika Serikat di
bulan July 2005 menyatakan bahwa “tidak ditemukan bukti bahwa para aparat
penegak hukum Indonesia yang telah menerima pelatihan ICITAP terlebih dahulu
diperiksa keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
sebelum Oktober 2004.” Bahkan, laporan itu menyebutkan bahwa di antara para peserta
latih “terdapat 32 orang aparat kepolisian dari Brigade Mobil (BRIMOB), unit
kepolisian yang terkenal reputasi negatifnya melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dan karena itu seharusnya sesuai dengan kebijakan State Department
tidak diperbolehkan menerima dana pelatihan dari Amerika Serikat”.
Timor Timur juga menerima bantuan melalui ICITAP. Terdapat
tiga bidang yang menjadi fokus bantuan ICITAP di Timor Timur: “Pelatihan dasar
supervisi dan kemampuan manajemen”, “pengembangan kebijakan dan prosedur”,
serta “pendirian program pelatihan petugas di lapangan.”
NADR: Non-proliferation, Anti-terrorism, Demining, and
Related Programs (Non-Proliferasi, Anti-Terorisme, Pembersihan Ranjau dan
Program Terkait)
Anggaran NADR dikelola oleh Department of State. NADR
terdiri dari sejumlah program yang meliputi 3 kategori utama: Non-Proliferasi,
Anti-Terorisme, serta Stabilitas Regional dan Bantuan Kemanusiaan. Hampir semua
dana NADR bagi Indonesia adalah untuk Anti-Terrorism Assistance (ATA)(Bantuan
Kontra-Terorisme). Sejumlah kecil dana NADR diperuntukkan bagi Export Control
and Border Security Assistance (EXBS)(Bantuan Pengamanan Lintas Batas Negara
dan Pengawasan Ekspor). Dalam beberapa tahun terakhir anggaran Counterterrorism
Financing (CTF)(Pendanaan Kontra-Terorisme) melalui NADR menjadi semakin besar
jumlahnya, hal mana ditujukan untuk mematikan pendanaan terorisme. Lebih dari
US$30 juta dana ATA telah dialokasikan bagi Indonesia sejak tahun 2002. Unit
Kepolisian Detasemen 88, unit kepolisian khusus yang didirikan dengan
pengawasan dari pemerintah Amerika Serikat dan dilatih dengan pendanaan dari
ATA, didakwa bertanggung jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia. Dana
NADR-ATA untuk tahun 2005 berjumlah
total US$5.987.000. Diperkirakan bahwa dana NADR-ATA untuk tahun 2006 adalah
sebesar US$5.542.000. Permohonan dana untuk tahun 2007 adalah sebesar
US$6.141.000 dan untuk tahun 2008 adalah sebesar 5.905.000 yang mana sebesar
US$4.200.000 adalah untuk bantuan ATA.
Di tahun 2005 Indonesia menerima sebesar US$275.000 melalui
dana NADR-EXBS. Sebesar US$450.000 dana EXBS diberikan di tahun 2006. State
Department memohonkan dana sebesar US$450.000 untuk tahun 2007 dan sebesar
US$490.000 untuk tahun 2008. Di tahun 2005 Indonesia tidak menerima dana CTF,
akan tetapi menerima sebesar US$201.000 di tahun 2006. Permohonan dana CTF
untuk tahun 2007 adalah sebesar US$1.180.000 dan untuk tahun 2008 sebesar
US$465.000. Sejumlah US$750.000 telah dimohonkan bagi Terrorist Interdiction
Program (Program Interdiksi Teroris).
INL/INCLE: International Narcotics and Law Enforcement
(Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum)
INCLE diselenggarakan melalui Bureau for International
Narcotics and Law Enforcement Affairs (INL)(Biro Urusan Narkotika Internasional
dan Penegakan Hukum), agensi tertinggi dalam jajaran State Department yang
berurusan dengan kebijakan obat-obat terlarang. Disebutkan bahwa tujuan dari
program ini adalah untuk melakukan kontrol atas narkotika, sekalipun
akhir-akhir ini menurut penjelasan anggaran belanja tahun 2006 INCLE juga
meliputi “upaya penegakan hukum yang lebih luas dan terpadu untuk memerangi
semua bentuk ancaman kriminal, obat terlarang, dan terorisme”. Setelah
pemisahan angkatan kepolisian Indonesia dari angkatan bersenjata di bulan Juli
2000, Amerika Serikat mulai memberikan pelatihan bagi kepolisian Indonesia.
Tidak ada bantuan INCLE untuk Indonesia di tahun 2005; namun US$4.950.000
bantuan diberikan di tahun 2006. Permohonan yang diajukan untuk tahun 2007
adalah US$4.700.000, dan untuk tahun 2008 adalah sebesar US$10.050.000.
Timor Timur menerima bantuan INCLE untuk pelatihan angkatan
kepolisian. Meskipun dana INCLE tidak diterima di tahun 2005, namun Timor Timur
menerima secara total sebesar US$1.485.000 di tahun 2006. Tidak terdapat
permohonan bantuan INCLE untuk tahun 2007, namun untuk tahun 2008 sejumlah
US$1.010.000 telah dimohonkan.
Pelatihan DEA
Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Drug Enforcement
Administration (DEA)(Administrasi Penegakan Hukum mengenai Obat-Obatan
Terlarang), terdiri dari seminar-seminar penegakan hukum tingkat dasar dan
mahir, yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan badan penegakan hukum luar
negeri untuk mengimplementasikan program-program kontra narkotika secara
mandiri. Angkatan Kepolisian Indonesia hanya satu kali berpartisipasi dalam
program ini sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2004, dan sekali lagi di tahun
2006.
Translation by
lihat juga:
CTFP: Regional Defense Counterterrorism Fellowship Program/Regional Defense Combating Terrorism Program (Program Kerekanan Pertahanan dan Keamanan untuk Kontra-Terorisme Regional / Program Memerangi Terorisme dan Pertahanan Regional)
DCS: Direct Commercial Sales (Penjualan Komersial Langsung)
EDA: Excess Defense Articles (Surplus/Kelebihan Persediaan Peralatan Hankam)
ESF: Economic Support Fund (Dana Pendukung Perekonomian)
FMF: Foreign Military Financing (Pendanaan bagi Militer Asing)
FMS: Foreign Military Sales (Penjualan kepada Militer Asing)
ICITAP: The International Criminal Investigative Training and Assistance Program (Program Pelatihan dan Bantuan Penyidikan Tindak Pidana Internasional)
IMET: International Military and Education Training (Pelatihan Pendidikan Militer Internasional)
INL/INCLE: International Narcotics and Law Enforcement (Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum)
Joint Military Exercises (Latihan Militer Bersama)
JCET: Joint Combined Exchange Training (Pelatihan Pertukaran Gabungan Terpadu )
NADR: Non-proliferation, Anti-terrorism, Demining, and Related Programs (Non-Proliferasi, Anti-Terorisme, Pembersihan Ranjau dan Program Terkait)
Regional Centers for Security Studies (Pusat Regional bagi Studi Pertahanan dan Keamanan)
E-IMET: Expanded International Military Education and Training (Pelatihan Pendidikan Militer Internasional yang Diperluas Cakupannya)
Section 1004 Counter Drug Assistance (Pasal 1004 Bantuan untuk Kontra Obat-Obat Terlarang)
Section 1206 (Pasal 1206)