Rabu, 27 Mei 2009

Strategi penangkalan NKRI terhadap kemungkinan Ancaman yang datang
dari dalam maupun luar negeri
Oleh : Sapuan, S.Sos


Perkembangan lingkungan strategis yang penuh dengan ketidakpastian mengandung potensi kerawanan timbulnya benturan-benturan kepentingan nasional yang dapat mengancam kestabilan politik Indonersia. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia membuktikan bahwa sejak lahirnya bangsa Indonesia sampai saat ini telah banyak menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan serta keselamatan bangsa dan negara Indonesia. Sejalan dengan transparansi dan issu global serta kemajuan Iptek telah mengakibatkan meningkatnya kualitas ancaman yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu untuk menghadapi setiap ancaman di masa yang akan datang, maka setiap spektrum ancaman perlu dipahami oleh seluruh komponen bangsa Indonesia sehinga kemungkinan ancaman dapat dideteksi sedini mungkin dan tidak terdadak serta dapat dihadapi secara konsepsional dan terpadu.
Sementara itu, perubahan iklim di dunia yang antara lain berdampak kepada menurunnya produktifitas hasil bumi sehingga menimbulkan krisis pangan di beberapa bagian negara di dunia. Memperhatikan kecenderungan perkembangan Lingstra tersebut, maka ancaman yang mungkin timbul terhadap NKRI tetap merujuk kepada perkembangan yang terjadi baik di tingkat global, regional maupun nasional. Keberadaan NKRI yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta memiliki sumber kekayaan alam yang sangat melimpah tentunya akan menjadikan suatu daya tarik tersendiri bagi negara asing untuk dapat menguasainya bahkan untuk memilikinya. Di dalam negeri sendiri, kondisi bangsa Indonesia yang memiliki pluralitas yan tinggi dimana masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan menganut bermacam-macam agama, selain memiliki kekuatan yang besar juga memiliki potensi ancaman yang cukup rawan. Sejarah bangsa Indonesia dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI telah menunjukkan adanya konflik vertikal (PRRI/PERMESTA, RMS, DI/TII, G 30 S/PKI, GAM dan OPM) dan konflik horizontal (sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi dan di Maluku). Hal ini ini merupakan bukti nyata bahwa bangsa Indonesia senantiasa diasah dan terus diuji dengan berbagai hambatan dan tantangan yang ada. Sehingga pada akhirnya terus berupaya dibentuk dan dirumuskan bagaimana menangkal segala macam ancaman dan hambatan tersebut.
Menghadapi kenyataan tersebut, selanjutnya dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI dari segala bentuk ancaman baik dari luar negeri maupun dalam negeri maka diperlukan suatu strategi penangkalan yang sesuai dengan kondisi dan keberadaan Negara Indonesia yang besar dan terdiri dari kepulauan ini. Hal ini dilakukan untuk menjadi efek tangkal dalam menjaga tetap utuh dan berkesinambunganannya kedaulatan NKRI yang kita cintai ini.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, dapatlah ditarik rumusan permasalahan : 1) Bagaimana strategi penangkalan NKRI yang harus dilakukan untuk saat ini dan masa yang akan datang dalam rangka menjaga keutuhan dan kedaulatan serta keselamatan bangsa Indonesia ? 2) Bagaimana strategi penangkalan yang harus dilakukan dalam mengantisipasi terjadinya konflik vertikal dan konflik horizontal di Indonesia ?
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa Sishanta merupakan suatu strategi penangkalan yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi segala kemungkinan ancaman yang mungkin timbul terhadap bangsa dan NKRI ini.
Data dan Fakta yang ada yang merupakan berbagai jenis ancaman terhadap keutuhan NKRI ini adalah terlihat dari : 1) Adanya Gerakan separatis politik dan bersenjata, di Aceh, Papua, Maluku dan Poso. Kondisi Aceh telah membaik, tetapi tetap perlu dicermati. Sedangkan Papua dan Maluku relatif stabil dan semakin kondusif, namun aktivitas separatisme masih aktif. Poso juga semakin kondusif, namun upaya penyelesaian penanganan pasca konflik perlu ditingkatkan. 2) Keamanan perbatasan. Permasalahan perbatasan dengan negara tetangga masih banyak yang tersisa, dan diantaranya rawan menjadi potensi konflik terbatas dengan Indonesia. Permasalahan perbatasan di Malaysia, perairan Ambalat, dan Papua masih berpotensi menyebabkan benturan-benturan dengan Negara yang bersangkutan, 3) Kejahatan lintas negara. Tindak kejahatan lintas negara masih marak di Indonesia, baik illegal logging, illegal fishing, trafficking, weapons smuggling, dan lainnya, yang menyebabkan kerugian negara baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, 4) Konflik Politik. Dinamika politik di tanah air cenderung diwarnai kerawanan-kerawanan pertentangan politik, yang dapat menyebabkan stabilitas nasional berada dalam tekanan. Masalah-masalah dalam pelaksanaan Pilkada, Pemilu, Pilpres/Pilwapres, pemekaran wilayah, dan lainnya, masih mendominasi perkembangan nasional, 5) Radikalisme. Pemberantasan terorisme terus dikedepankan dalam berbagai lini. Namun demikian, isu radikalisme masih menjadi perhatian serius karena aktivitas kelompok-kelompok radikal kerapkali diwarnai kekerasan dan berpengaruh terhadap upaya penanganan akar masalah terorisme, 6) Infiltrasi dan Intervensi Asing, Kepentingan negara-negara besar terhadap Indonesia tidak dapat dipungkiri, baik dalam kaitan keamanan regional maupun terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang berlatar belakang ekonomi dan politik. Akibatnya, infiltrasi dan intervensi asing akan terus dihadapi Indonesia, 7) Konflik horizontal yang berbau SARA walaupun sudah mereda, namun perlu diantisipasi atas kemungkinan munculnya kembali ke permukaan.
Dalam menghadapi banyaknya potensi ancaman yang ada diatas, maka perlunya suatu strategi penangkalan yang handal bagi bangsa dan Negara Indonesia sehingga kedaulatan dan keutuhan wilayah dan Negara Indonesia tetap terjaga. Adapun Strategi penangkalan sendiri dilakukan sebagai usaha dalam batas tertentu guna mencegah perang atau konflik yang lebih luas, sehingga banyak yang berpendapat bahwa strategi ini sebagai strategi damai. Pada umumnya semua negara menginginkan perdamaian dan oleh sebab itu dapat diperkirakan pada masa mendatang semua negara menggunakan strategi penangkalan secara luas. Indonesia pada masa mendatang akan banyak menggunakan strategi ini, negara sadar sudah menggunakannya pada masa lalu. Suatu konsepsi atau pandangan diperkirakan sebagai bahan untuk merumuskan strategi penangkalan kita masa mendatang. Pengalaman kita masa lalu perlu dianalisa sebagai bahan pelajaran untuk masa kini. Karena lingkungan akan berkembang maka konsepsi kita masa sekarang perlu disesuaikan dengan perkembangan lingkungan tersebut. Atas dasar itu kita dapat menyusun suatu konsepsi yang dapat menghadapi segala macam ancaman pada masa mendatang.
Sejarah membuktikan bahwa perjuangan bangsa Indonsesia dalam merebut, membela dan mempertahankan kemerdekaannya senantiasa berdasarkan pada semangat seluruh rakyat didorong oleh perasaan senasib sepenanggungan dan sikap rela berkorban bagi tanah air. Hal ini dikukuhkan dalam pasal 30 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Partisipasi aktif rakyat Indonesia dalam pembelaan negara merupakan ciri khas bangsa yang bersumber dari nilai sejarah perjuangan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Perang hanya dilakukan apabila cara-cara damai tidak ditempuh, karena penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa akan menimbulkan malapetaka bagi umat manusia. Oleh karena itu salah satu upaya untuk mencegah perang dan terselenggaranya kondisi Kamdagri yang kondusif harus diciptakan daya tangkal yang tangguh, yang akan memiliki pengaruh psikologis untuk mencegah pemaksaan kehendak pihak tertentu dengan cara-cara kekerasan. Daya dan kekuatan tangkal tersebut bertumpu pada TNI sebagai kekuatan utama dengan cadangan yang cukup serta kekuatan rakyat yang dapat dikerahkan secara cepat melalui mobilisasi umum apabila diperlukan. Dalam kaitan tersebut diperlukan penjabaran strategi penangkalan yang mantap, logik, konseptual serta realistik dan dinamik untuk diterapkan dalam rangka menyelenggarakan Hanneg secara efektif dan efisien.
Dalam menghadapi eskalasi ancaman maka penangkalan yang dilakukan adalah ditujukan untuk senantiasa melaksanakan deteksi dini dan upaya mencegah secara dini terhadap setiap kemungkinan meningkatkan eskalasi guna memelihara kondisi aman pada semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosbud dan hankam. Pemeliharaan kondisi aman merupakan upaya yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan berlanjut melalui upaya Binkamtibmas agar segenap hajat hidup bangsa dan negara tetap dapat dilaksanakan, termasuk kesinambungan pembangunan nasional.
Wujud kesinambungan pembangunan nasional dinilai oleh suatu kondisi yang didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang secara akumulatif dapat menggambarkan kondisi keselamatan negara dan bangsa umumnya. Penilaian akumulatif terhadap eskalasi kondisi sesuai pendekatan inter dan antar gatra dalam ketahanan nasional yang saling berinteraksi, interelasi dan interdependensi.
Adapun Prinsip keterkaitan antar aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan pilar kebijaksanaan penangkalan yaitu sinergi optimal dari supra struktur dan infra struktur politik, intra dan antar departemen Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) serta melibatkan secara proaktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tokoh masyarakat lainnya. Sasaran yang diinginkan adalah terpeliharanya stabilitas nasional dinamis. Oleh karenanya segenap strategi yang merupakan jabaran dari kebijaksanaan penangkalan, ditujukan guna terpeliharanya stabilitas pada setiap aspek kehidupan dan secara akumulatif stabilitas nasional sesuai dengan perkembangan lingkungan strategik pada kurun waktu tertentu. Sesuai dengan kepentingannya, maka segenap strategi penangkalan haruslah bersikap utuh, menyeluruh, dilaksanakan secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
Menyikapi kenyataan yang ada, dimana terdapat adanya ancaman yang mungkin timbul dari negara lain terhadap keberadaan negara Indonesia yang cenderung ketersediaan SDA dan kekayaan alam Indonesia yang demikian melimpah bahkan bisa dikata paling kaya di dunia, maka strategi penangkalan yang mesti dilakukan adalah dengan Strategi Perwujudan Kemampuan, yang dilaksanakan dengan membangun kemampuan di segala aspek kehidupan yaitu di bidang IPOLEKSOSBUD HAN, yang inti pertahanannya adalah tertumpu pada : Ketahanan masyarakat yang meliputi : Kemampuan untuk terwujudnya kesadaran bela negara, Kemampuan untuk terwujudnya ketertiban, Kemampuan untuk terwujudnya perlindungan rakyat, Kemampuan untuk terwujudnya keamanan rakyat, Kemampuan untuk terwujudnya perlawanan rakyat, dan Kemampuan penanggulangan malapetaka akibat perang, bencana alam dan bencana lainnya. Sedangkan bagi TNI sebagai komponen utama pertahanan diharapkan memiliki kemampuan intelijen strategik yang baik, Kemampuan dalam pertahanan baik pertahanan udara, laut maupun darat dan pertahanan kewilayahan serta dalam menghadapi peperangan elektronika diperlukan kemampuan keamanan, kemampuan dukungan, dan Pendukung.
Sasaran Kekuatannya meliputi Kekuatan di bidang ideologi yaitu terwujudnya Ideologi Pancasila sebagai pedoman hidup oleh seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan alat kekuatan bangsa yang ampuh untuk menghadapi ancaman serta gangguan ideologi lain. Di bidang politik adalah terwujudnya organisasi sosial politik dan institusi-institusi yang meliputi supra politik dan infra politik. Di bidang ekonomi adalah terintegrasinya ekonomi dengan unsur-unsur yang terlibat didalam kegiatan ekonomi Indonesia yang mempunyai daya saing tinggi yaitu BUMN, Swasta, Koperasi. Di bidang sosial budaya, terintegrasinya seluruh aspek kehidupan masyarakat indonesia yang terarah dan terpadu. Di bidang pertahanan, terwujudnya sinergi antar komponen kekuatan Hanneg agar dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang bersifat militer dan dibagi dalam kekuatan perlawanan bersenjata dan kekuatan perlawanan tidak bersenjata.
Adapun Sasaran Penggelarannya adalah meratanya penggelaran kekuatan pada aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan yang ideal pada keseluruhan wilayah nasional, namun dengan kemampuan ekonomi nasional yang terbatas maka kekuatan yang dibutuhkan belum dapat terpenuhi sehingga pembangunan kekuatan dilaksanakan secara bertahap seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Penggelaran kekuatan dilakukan berdasarkan penetapan prioritas sesuai dengan kepentingan.
Upaya yang dilakukan dalam perwujudkan kekuatan adalah dengan melakukan Peningkatan Kemampuan di berbagai asek kehidupan, yaitu pada Aspek Ideologi, dengan senantiasa mengamankan dan melestarikan Ideologi Pancasila serta tetap mempertahankannya sebagai ideologi bangsa dan negara, Meningkatkan penghayatan dan pengamalan Pancasila, Memantapkan kemampuan menangkal penetrasi dan pengaruh ideologi lain yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Memantapkan kondisi mental bangsa Indonesia yang berkeyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila, Membina persatuan dan kesatuan bangsa, kerukunan umat beragama serta menumbuhkan semangat kepedulian, kebersamaan dan kekeluargaan, Menghilangkan sikap dan gaya hidup yang meterialistik dan konsumtif, Menjauhkan mentalitas yang berorientasi pada kekuatan, kekuasaan dan kekerasan, Menghilangkan persepsi yang sempit, dangkal dan tertutup, Menjauhkan sikap formalistik atau birokratik yang berlebihan, Mengurangi sikap yang mengedepankan primordialisme, terutama loyalitas kelompok yang berlebihan.
Pada aspek Politik, dilaksanakan dengan : Memantapkan kehidupan konstitusional melalui mekanisme sudah diatur dalam Undang-undang dan siklus kepemimpinan nasional lima tahunan berdasarkan UUD 1945 ; Memupuk budaya politik dengan mengembangkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan infra struktur dan supra struktur, mengembangkan semangat keterbukaan yang bertanggung jawab, mengembangkan sikap moral dan etika politik ; Meningkatkan politik luar negeri dengan jalan memantapkan ketahanan regional, kemampuan menghadapi tantangan pada tingkat global dan kemitraan regional ASEAN serta meningkatkan peran positif dalam OKI serta gerakan non Blok ; Memantapkan kehidupan konstitusional terhadap semua norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ; Meningkatkan pendidikan politik rakyat khususnya pemahaman, penghayatan dan penerapan konsep keterbukaan, demokratisasi dan hak asasi manusia berdasarkan konsep wawasan kebangsaan dan nilai-nilai intrinsik Pancasila dan UUD 1945 ; Menyiapkan kader pimpinan nasional melalui tahapan-tahapan pendidikan sampai tingkat lembaga ketahanan nasional yang dikombinasikan dengan penugasan terpadu melalui tour of duty dan tour of area secara seimbang dan berkelanjutan ; Menekankan prioritas politik luar negeri dan konsistensi kepada politik luar negeri yang bebas dan aktif, tidak reaktif dan tidak menjadi obyek negatif percaturan politik internasional serta bersifat kenyal dan modern berpedoman kepada kebijaksanaan yang memperhatikan dimensi wawasan nusantara, tata ekonomi dunia baru dan Gerakan Non Blok serta kerja sama regional.
Pada Aspek Ekonomi, dilaksanakan dengan : Meningkatkan pemerataan sosial ekonomi melalui pengembangan pusat unggulan yang menyebar diseluruh nusantara ; Meningkatkan peranan pemerintah dalam mengembangkan secara aktif program pengentasan kemiskinan dan program mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin; Memberdayakan masyarakat miskin dan pelaku sektor informal/usaha kecil dan menengah serta konsepsi melalui ketentuan yang mengatur keserasian hubungan antar pelaku ekonomi, pembukaan akses modal, informal, teknologi dan pasar ; Menciptakan lapangan kerja dengan angkatan kerja yang sebanding ; Menyusun sistem pengembangan sumber daya manusia terpadu melalui pendidikan dan latihan untuk maningkatkan kualitas kerja, ethos kerja, produktivitas kerja, disiplin kerja dan kemampuan daya saing ; Meningkatkan kualitas sistem manajemen nasional dengan perencanaan berdasar kepentingan masyarakat ; Menggali sumber dana dalam negeri, khususnya melalui penyehatan perbankan dan pasar modal untuk mengurangi ketergantungan kepada pinjaman luar negeri ; Meningkatkan daya asing ekonomi dalam bentuk produk berkualitas, tepat waktu dan pemanfaatan peluang pasar dengan sarana teknologi, riset dan pengembangan ; Meningkatkan produksi komoditas unggulan didasarkan atas keunggulan komparatif dibidang kualitas sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya bangsa ; Meningkatkan keunggulan kompetitif melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia serta penerapan dan alih teknologi ; Meningkatkan efisiensi manajemen dan dukungan birokrasi antara lain simplikasi perijinan dan infra struktur ; Meningkatkan komposisi ekspor produk industri yang mencerminkan keunggulan komparatif dalam produksi komoditi dan produk-produk tertentu ; Mengembangkan program yang bersifat mendorong industri kecil, terutama dalam menanggulangi masalah pemasaran melalui program kemitraan. Menciptakan terjalinnya kaitan yang saling membantu dan saling menguntungkan antara perusahaan-perusahaan besar, menengah dan kecil, industri hulu, pengolah produk antara dan industri hilir serta antara industri manufaktur dan sektor lainnya ; Memantapkan penyediaan dan penyempurnaan infra struktur melalui program pembangunan daerah terpadu ; Meningkatkan kemampuan perdagangan secara regional dan internasional melalui pendidikan formal dan informal dalam dan luar negeri secara bertahap dan berkesinambungan serta program kerja sama antar negara/antar kawasan; Memantapkan kemampuan berinvestasi diforum regional dan internasional melalui program pertukaran informasi dan kerjasama investasi antar negara/antar kawasan.
Pada aspek Sosial Budaya, dilaksanakan dengan : Meningkatkan pemahaman karakteristik jati diri bangsa untuk meredam kemungkinan terjadinya erosi jati diri akibat benturan dengan konsep budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia ; Meningkatkan pemahaman wawasan kebangsaan dan wawasan keberagamaan, wawasan kebangsaan ditumbuh kembangkan dalam kerangka kedudukannya sebagai manusia Indonesia sedangkan wawasan keberagamaan ditumbuh kembangkan dalam kerangka kedudukannya sebagai pemuka cakrawala dan visi tentang citra bangsa ; Meningkatkan pengenalan, pemahaman ideologi dan agama beserta implementasinya, mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara dan agama sebagai pedoman hidup selaku insan hamba Tuhan dan insan sosial ; Meningkatkan kualitas profresionalisme melalui pendidikan formal ; Meningkatkan kualitas produktivitas kerja melalui penggalangan motivasi kerja dalam bentuk workshop dan latihan kerja serta simulasi kerja ; Mengurangi kesenjangan sosial melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) sebagai salah satu alternatif terobosan dalam rangka pemberantasan kemiskinan serta mengurangi kesenjangan sosial ekonomi antara si kaya dan si miskin, mengupayakan pemerataan berdasar potensi dan kondisi sosial masyarakat desa; Memperluas kesempatan kerja melalui kerjasama pemerintah dan swasta dengan mendirikan sentra-sentra kegiatan ekonomi terutama sentra sekunder baik kesempatan kerja dalam bentuk wirausaha mandiri, karyawan lepas dan karyawan tetap sesuai dengan kemampuan masing-masing ; Memberantas kemiskinan struktural dengan menitikberatkan kepada perubahan/ perombakan struktur masyarakat dari masyarakat konsumtif menjadi masyarakat produktif melalui subsidi modal kerja permanen atau modal kerja investasi kecil untuk menggerakkan dan menggalakkan industri kecil/kerajinan rumah tangga disertai dengan pendirian lembaga penjamin pinjaman usaha kecil.
Pada Aspek Pertahanan, di tingkat Ratih dan Linmas, dilaksanakan dengan mempercepat terwujudnya perangkat hukum tentang Ratih dan Linmas dengan memperhatikan struktur sistem Hanneg sesuai dengan Doktrin Hanneg ; Memasyarakatkan pemahaman tentang kesadaran bela negara dan penghayatan Doktrin Hanneg di lingkungan pendidikan, pekerjaan dan pemukiman ; Penyempurnaan metode pembinaan tenaga rakyat dalam mewujudkan Ratih dan Linmas yang mantap dan handal; Mewujudkan potensi tenaga manusia yang mampu menanggulangi akibat bencana sebagai satuan Linmas. Untuk TNI, dilaksanakan dengan : Meningkatkan kesejahteraan prajurit baik materiil maupun non materiil serta meningkatkan kualitas kejuangan dan profesionalisme prajurit TNI sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Iptek dalam rangka mengemban fungsi pertahanan negara ; Membangun kekuatan TNI PEEM, yang mempunyai mobilitas dan daya gempur tinggi dan dalam waktu relatif singkat mampu diproyeksikan ke segenap penjuru tanah air ; Memantapkan konsepsi Hanneg di medan pertahanan penyanggah, medan pertahanan utama dan daerah perlawanan dengan membangun kemampuan kekuatan TNI yang mampu menjamin tegaknya kedaulatan RI di darat, di laut dan di udara ; Bersama-sama dengan komponen kekuatan pembangunan lainnya mengupayakan terwujudnya disiplin nasional yang diawali dari supra struktur politik serta mendorong terselenggaranya penghayatan dan pengamalan wawasan nusantara dan ketahanan nasional sebagai doktrin dasar nasional ; Memantapkan kemanunggalan TNI dengan rakyat melalui pengembangan kemitraan dan dialog antara TNI dan rakyat. Meningkatkan keikutsertaan TNI dalam menanggulangi kemiskinan diselenggarakan antara lain melalui program TMD dan Bhakti TNI ; Meningkatkan Kamneg melalui peningkatan kemampuan personil dan peralatan aparat Kamneg sehingga dapat lebih menjamin keamanan, ketertiban dan keadilan. Disamping itu pembinaan Siskamneg swakarsa ditingkatkan dengan mengutamakan pencegahan dan penangkalan serta partisipasi rakyat dalam masalah keamanan dan ketertiban ; Meningkatkan kerjasama internasional dibidang pertahanan berdasarkan prinsip saling menguntungkan di kawasan Asia Tenggara khususnya dan kawasan Asia Pasifik umumnya serta dalam rangka meningkatkan peran serta TNI dalam perwujudan ketahanan nasional dengan bingkai ketahanan regional; Meningkatkan kerjasama internasional dibidang kepolisian dalam menanggulangi kejahatan internasional, saling tukar informasi dan peningkatan kualitas personel Polri. Untuk komponen pendukung, dilaksanakan dengan : Meningkatkan dan memantapkan pembinaan sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional, Iptek dan tata ruang wilayah negara untuk mendukung penyelenggaraan Hanneg ; Meningkatkan pembinaan industri nasional khususnya industri strategis untuk mendukung kepentingan Hanneg ; Mendorong peningkatan kerjasama lintas sektoral dalam rangka peningkatan efisiensi pendayagunaan sumber daya nasional sesuai dengan jiwa pengaturan tata ruang wilayah pertahanan ; Melengkapi dan menata peraturan perundang-undangan berkaitan dengan penyelenggaraan Hanneg.
Disamping strategi perwujudan kemampuan juga perlu diimbangi dengan strategi perwujudan kredibilitas dan strategi perwujudan komunikasi pada setiap aspek kehidupan Ipoleksosbudhan. Khusus bagi strategi perwujudan komunikasi, sasaran yang ingin dicapai adalah segala upaya untuk mencegah agar tidak salah pengertian dari pihak lain dalam menginterprestasikan kemampuan tangkal yang dimiliki dan keteguhan niat melaksanakan kehendak serta untuk meningkatkan kredibilitas dalam menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Sedangkan dalam mengantisipasi segala kemungkinan adanya ancaman yang datang dari dalam negeri baik menghadapi kemungkinan terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal, maka strategi penangkalan yang ditempuh adalah dengan melakukan Perwujudan Keamanan Nasional, yang mencakup kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dan keselamatan individu, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan ketertiban umum. Keselamatan individu berkaitan dengan jaminan atas perlindungan terhadap keberadaan individu tertentu berikut hak-hak dasar yang melekat padanya. Ketertiban umum berkaitan dengan adanya kepatuhan terhadap norma-norma sosial dan hukum di dalam interaksi kehidupan bersama yang menjamin keberlangsungan kondisi keteraturan hidup dan ketentraman masyarakat. Keselamatan individu dan ketertiban umum dicapai melalui penciptaan budaya hukum yang meliputi nilai-nilai keadilan masyarakat, kepatuhan hukum serta upaya-upaya penerapan dan penegakan hukum.
Dari uraian diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa strategi penangkalan yang ampuh dalam menghadapi segala kemungkinan timbulnya ancaman baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri bagi Negara Indonesia adalah dengan melaksanakan strategi dalam wujud sistem pertahanan semesta (Sishanta) yang menyangkut dalam berbagai sisi kehidupan baik di bidang Idiologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan dengan melibatkan segenap komponen bangsa baik TNI selaku komponen utama/pokok, maupun masyarakat selaku komponen pendukung dan komponen cadangan. Sishanta ini memang cocok bagi bangsa Indonesia untuk saat ini dan masa yang akan datang, hal ini terlihat dengan wujud pertahanannya yang komprehensif dengan pelibatan segenap komponen bangsa dalam semua sisi/bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Dengan Sishanta ini dapat terwujud suatu pertahanan negara yang mantap dan dapat menangkal segala macam jenis ancaman yang mungkin timbul. Oleh karenanya maka perlunya dipupuk keberlangsungan Sishanta ini dengan mewujudkan ketahanan nasional yang dilakukan dengan Pembangunan di segala bidang, serta kerjsama dengan negara-negara lain di luar, sehingga efek tangkal yang dimiliki bangsa ini akan tetap lestari dan dapat terus ditingkatkan.
Demikian tulisan mengenai Strategi penangkalan NKRI terhadap kemungkinan Ancaman yang datang dari Luar dan dari dalam negeri ini dibuat, untuk dijadikan sebagai bahan kajian dan masukan, semoga bermanfaat.

Bandung, 11 Maret 2009
Tanggapan Masyarakat Terhadap Jumlah Peserta Partai Pemilu
Oleh : Sapuan, S.Sos

Jumlah partai politik yang akan bertarung pada Pemilihan Umum tahun 2009 mencapai 38 partai politik (http://www.inilah.com/berita/2008/08/15KPU ), hal ini jauh lebih besar dibanding dengan pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh hanya 24 partai. Ini berarti bahwa upaya penyederhanaan jumlah partai dinilai telah gagal. Yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa banyaknya partai tak juga mendorong munculnya solusi terbaik untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara ini dari kenyataan keterpurukan ekonomi dan kinerja pemerintahan yang begitu-begitu saja.
Keinginan sejumlah kalangan yang menghendaki adanya penyederhanaan partai politik yang akan bertarung, dirasa merupakan sebuah solusi untuk merampingkan jumlah partai politik, juga untuk menyehatkan persaingan serta pembiayaan pemerintah akan dana dalam mewadahi partai politik serta hal-hal lain yang terkait, namun tidaklah berhasil. Hal ini tentunya akan menjadikan sebuah kenyataan bahwa pemborosan uang negara terkait dengan pembiayaan partai politik, dana Pemilu juga hal-hal lain yang terkait dengannya tidaklah dapat dicegah, juga dengan banyaknya partai ini bukanlah sebuah solusi dalam memperbaiki kinerja serta ekonomi negara. Sisi lain rakyat akan dibingungkan untuk memilih partai mana yang pantas baginya, dihadapkan dengan keterbatasan pendidikan politik dan kesiapannya mejadikan sebuah fenomena yang sedang terjadi saat ini menjelang Pemilu pada April 2009 yang akan datang.
Hal ini merupakan latar belakang permasalahan yang ada saat ini. Oleh karenanya, dapatlah ditarik sebuah rumusan permasalahan : Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap peserta partai pada Pemilu 2009 yang relatif banyak ini ?
Kenyataan yang ada saat ini dengan banyaknya jumlah partai peserta pemilu 2009 bukanlah datang secara kebetulasan semata. Dimasa lalu dan sedang terjadi sudah lama muncul suara bahwa jumlah partai politik terlalu banyak, yang berakibat pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan rumit. Terlalu banyak kepentingan yang harus dinegosiasikan antara DPR dan pemerintah. Karena itu muncul gagasan untuk menyederhanakan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang lebih sederhana, misalnya jumlah partai yang mendapat kursi efektif di DPR tidak lebih dari tiga kursi.
Dari kenyataan yang ada pula, partai-partai yang akan berlaga tak satu pun, baik partai yang masih baru ataupun yang telah lama, tidak mampu menawarkan program yang jelas, realisitis dan mencerahkan bagi masyarakat. Oleh karenanya, antusiasme masyarakat menyambut pemilu tahun 2009 ini tidaklah akan sama seperti pada tahun 1999 yang lalu. Namun demikian, banyak partai baru muncul dengan sejumlah gagasan segar, antusiasme masyarakat yang berkembangpun tumbuh karena tokoh-tokoh yang tampil adalah tokoh baru. Citra mereka belum terlihat baik buruknya, sehingga publikpun masih bersemangat untuk memilihnya.
Kini sebagian besar politikus, termasuk yang tampil di partai baru, sudah jelas rekam jejaknya. Mereka umumnya telah larut dalam praktek yang korup sehingga gagal mengemban cita-cita reformasi. Semakin terasa, politik bagi sebagian kalangan politikus benar-benar demi kekuasaan semata, bukan untuk mewujudkan masyarakat dan negara yang lebih baik.
Partai-partai politik juga tampak gagap menanggapi situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang. Sebagian besar mereka mengecam keras kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Tapi mereka tak bisa pula menawarkan solusi ampuh buat mengatasi kesulitan ekonomi. Ada kesan, kritik itu cuma upaya menuai simpati rakyat yang amat terpukul dengan kebijakan pemerintah.
Sejauh ini sebagian besar partai juga tidak mengangkat pentingnya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Padahal inilah kunci untuk membuat negara ini lebih baik. Tak cuma di berbagai lembaga pemerintah, korupsi di lembaga yudikatif dan legislatif juga perlu dibasmi. Hanya dengan cara ini penyelenggaraan negara bisa lebih efisien, dan semakin banyak porsi anggaran yang benar-benar dinikmati rakyat.
Partai-partai enggan bersuara keras mengenai pemberantasan korupsi karena sebagian kader mereka terjerat dalam kejahatan ini. Yang terjadi malah sebaliknya. Tokoh-tokoh partai justru mengkritik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah anggota legislatif yang tersangkut kasus suap.
Sikap seperti itu harus diakhiri. Mestinya kalangan partai berlomba-lomba memerangi korupsi demi menarik simpati rakyat. Ini bisa dimulai dengan membersihkan partainya sendiri. Kader-kadernya yang korup, baik di lembaga legislatif maupun pemerintah, harus disingkirkan. Tampilkanlah kader-kader yang belum tercemar dan memiliki integritas tinggi karena pasti lebih memikat khalayak.
Memang cara itu belum memberi solusi bagi perbaikan negara ini. Tapi, dengan tampil bersih, partai-partai setidaknya bisa membawa harapan baru. Jika mereka benar-benar bertekad membangun negara yang lebih bersih, bebas dari korupsi, sikap ini sudah menjadi bentuk solusi itu sendiri.
Sejalan dengan itu, kemunculan banyaknya partai politik yang ada saat ini, bermula dari sikap politikus DPR yang egoistis dalam menyusun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Mereka melonggarkan persyaratan sehingga partai yang hanya memiliki satu kursi di DPR pun boleh lagi ikut pemilu. Padahal, pada undang-undang sebelumnya, hanya partai dengan kursi minimal 3 persen dari jumlah kursi di lembaga legislatif yang bisa langsung ikut pemilu. Perubahan ini terjadi lantaran partai-partai kecil di parlemen ngotot ingin ikut pemilu lagi dengan cara gampang.
Akibat tidak adanya konsistensi aturan main, masalah keadilanpun diabaikan. Sekarang partai politik seperti Partai Bulan Bintang otomatis boleh ikut pemilu kendati kursinya kurang dari 3 persen di DPR. Bandingkan dengan nasib yang dulu dialami oleh Partai Keadilan. Partai ini harus mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera, kemudian ikut lagi dalam proses verifikasi, baru kemudian bisa menjadi peserta pemilu.
Kemungkinan membludaknya peserta pemilu juga disebabkan oleh antusiasme politikus di luar parlemen yang tak surut membuat partai baru. Semangat ini memang harus tetap dihargai karena konstitusi, juga undang-undang, menjamin kebebasan mendirikan partai. Persoalannya, puluhan partai baru yang muncul sekarang tak menawarkan ideologi baru. Platform mereka juga tak jauh berbeda dengan partai yang sudah ada.
Mekanisme demokrasi memang memungkinkan proses penyederhanaan partai berlangsung secara alami. Hanya partai yang benar-benar diperlukan warga yang akan eksis. Tapi proses ini sebenarnya bisa dipercepat jika para politikus memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.
Namun sekali lagi bahwa kenyataan untuk mewujudkan penyederhanaan partai saat ini hanyalah tinggal sebuah mimpi, yang pada akhirnya sejumlah 38 buah partai akan tetap berlaga untuk memperebutkan sejumlah kursi baik di tingkat daerah (TK I dan II) maupun di tingkat pusat.

Menanggapi hal ini, masyarakat hanyalah dijadikan sebagai komoditas dalam mengumpulkan sejumlah suara guna kepentingan segelintir orang yang ada di partai politik untuk bisa menduduki bangku legislasi baik di daerah maupun di pusat. Masyarakat secara umum bingung untuk memilih partai mana yang bisa mewakili aspirasinya. Dalam pandangan mereka, mereka tidaklah merasa menikmati hasil dari perjuangan para wakil rakyatnya yang selama ini duduk di bangku legislasi. Dalam pemikiran mereka yang ada adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk bisa tetap bertahan hidup dan menghidupi keluarganya.
Membengkaknya jumlah partai menjadi konsekuensi logis fenomena kawin cerai partai politik. Namun, permasalahannya bukan terletak pada jumlah partai yang besar, melainkan terletak pada kualitas kader yang disiapkan dan pelembagaan fungsi-fungsi yang sejatinya dijalankan partai.
Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap partai politik (parpol) menurun. Namun, justru banyak masyarakat yang berlomba-lomba membuat parpol baru. Apa yang mendasari terjadinya fenomena seperti ini? Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina,Bima Arya Sugiarto munculnya parpol baru di tengah keterpurukan saat ini di sebabkan oleh, pertama, banyak elite politik yang berharap kejenuhan pada parpol lama dapat teraktualisasikan pada parpol baru. Kedua, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada beberapa petinggi politik yang mencari jalur kekuasaan dengan cara instan. Sebab, jika menggunakan parpol lama, dibutuhkan waktu yang relatif lama karena harus bersaing dengan tokoh-tokoh lain dalam satu gerbong. Kenyataannya, parpol-parpol yang baru muncul pun diprakarsai para tokoh stok lama hanya dengan kostum baru. Ketiga, ada kecenderungan elite politik yang berjualan, yakni dengan menciptakan satu kendaraan politik baru dan kemudian dijual pada pihak lain. Dengan motif ini, kan mendapatkan keuntungan secara materi.
Tetapi anehnya berdasarkan Indonesia Polling yang melaksanakan polling tanggal 14-22 Mei 2008 di 33 provinsi seluruh Indonesia sebanyak 95,01 % responden menyatakan akan berniat ikut memilih pada Pemilu & Pilpres 2009 mendatang.
Ini adalah kondisi yang berbalikan dengan kenyataan di lapangan , bahwa jumlah partai yang relatif banyak tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat, tetapi mereka tetap semangat untuk memilih. Hal ini menurut pendapat pribadi saya, bahwa pemilu atau yang dikenal dengan pesta demokrasi telah menjadi pesta rakyat berupa peningkatan perekonomian dan perluasan lapangan kerja secara instan. Contoh yang pasti adalah membludaknya iklan diri calon legislatif yang dipasang sepanjang jalan. Iklan ini nilainya sampai bermilyar-milyar dan itu menjadi nilai positif bagi masyarakat. Belum lagi partai yang berani membagi-bagi duit untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat saat kampanye. Tentu money politik ini tidak diartikan sebagai pelanggaran undang-undang, tetapi justeru menjadi moment yang sangat dinantikan oleh masyarakat kita yang notabene sebagian besar berada dalam kelompok ekonomi menegah ke bawah.
Kiranya tidaklah berlebihan bahwa penambahan partai akan berakibat menambah kebingungan rakyat untuk memilih partai dan siapa yang bisa mewakili aspirasinya bagi hidupnya di masa mendatang.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa, penambahan partai politik yang lebih banyak dari Pemilu sebelumnya adalah sebuah bentuk demokrasi penyaluran aspirasi bagi sejumlah kalangan yang menghendaki lepas dan membentuk partai baru, namun di sisi lain hal ini akan menambah sederetan kebingungan rakyat dalam memberikan dukungannya bagi partai politik yang hendak dipilihnya.
Demikian tulisan mengenai Tanggapan Masyarakat terhadap peserta partai yang relatif banyak ini dibuat, semoga bermanfaat.


Bandung, 27Januari 2009
Pencopotan Kapolda Jatim dikaitkan dengan Pilkada Jawa Timur
Oleh : Sapuan, S.Sos

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Jawa Timur, merupakan Pilkada yang menuai permasalahan. Diawali dengan adanya selisih jumlah suara sangat tipis kurang dari satu persen, sehingga harus diadakan pemungutan suara ulang. Dalam putaran ulang proses pemilihan kemudian disinyalir terdapat adanya kecurangan yang dilakukan salah satu peserta Pilkada. Polisi yang mendapat laporan dari Panwas Pilgub Jatim tentang dugaan kesalahan DPT Pilgub Jatim , menemukan lebih 27 persen dari total pemilih yang terdapat dalam DPT adalah fiktif. Banyak Nomor Induk Kependudukan (NIK) kembar yang dipakai oleh puluhan orang. Bahkan Kapolda sendiri menangkap tangan seorang anak yang namanya masuk sebagai daftar pemilih.
Atas kejadian tersebut, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja lalu menjadikan Ketua KPUD Jatim sebagai tersangka, karena dia yang bertanggung jawab dalam penyusunan Daftar Pemilih Tetap. Namun kemudian yang terjadi justeru kapolda Irjen Pol Herman diganti dengan alasan hendak pensiun. Sepuluh hari setelah pergantian Kapolda, status tersangka Ketua KPUD Jatim diturunkan dari tersangka menjadi saksi. Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polri. (Rep/Kam:Mahfud | Penulis:Effendy | VO:Maya | Editor Video:Fajar |).
Peristiwa penggantian Kapolda Jatim yang berkaitan dengan Pilkada, dapat di jadikan bahan analisis, sehingga menjadi bisa menjadi bahan pelajaran yang berguna, bagi sisapapun yang memiliki tugas sebagai aparat negara.
Penegakkan hukum dan dugaan permainan politik.
Tindakan yang dilakukan oleh Kapolda Jatim dalam menentukan status ketua KPU Jatim sebagai tersangka, tentunya sudah sesuai prosedur yang berlaku. Diawali dengan adanya laporan yang masuk dari Panitia Pengawas Pilkada tentang adanya kecurangan dalam penyusunan daftar pemilih, lalu diadakannya penyelidikan dan setelah melihat bukti-bukti, barulah dibuat keputusan. Sebelum keputusan ini dikeluarkan tentunya Kapolri sudah terlebih dahulu. Mengingat hal ini masalah nasional yang cukup krusial. Entah bagaimana suatu keputusan yang telah diambil, tiba-tiba dianulir lagi itu manjdi menarik. Menurut pejabat Polri, perubahan status Ketua KPUD Jawa Timur dari tersangka menjadi saksi itu berdasarkan hasil supervisi Kabareskrim Polri selaku pembina fungsi penyidik. Penurunan status tersangka menjadi saksi dilakukan mengingat belum adanya bukti kuat dan keterangan saksi yang bisa menjerat Ketua KPUD Jatim menjadi tersangka keputusan yang dikeluarkan oleh mantan kapolda, belum berkekuatan hukum tetap, karena berkasnya dan bukti belum pernah diajukan ke kejaksaan. Untuk itulah setelah diselidiki lebih mendalam oleh Kapolda baru, status Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo menjadi saksi. Karena memang sebelumnya dianggap belum ada penetapan status bagi ketua KPUD Jatim. Berarti kasus ini akan terus berlanjut dengan prosedur dan penyelidikan yang lebih terbuka. Jadi kita tidak perlu khawatir si tersangka akan lepas dari jeratan hukum, jika memang yang bersangkutan benar-benar berbuat salah.
Memang ada banyak pendapat yang bisa mempengaruhi opini publik, dimana peran ketua KPUD Jatim Wahyudi yang berhasil mengantarkan pemilihan gubernur yang menetapkan Soekarwo-Syaifullah Yusuf sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Jatim. Saat itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja mengatakan, penetapan tersangka setelah tim penyidik memeriksa dan menyelidiki berkas-berkas dan bukti-bukti yang diberikan Panwas Pilgub Jatim dan adanya bukti kecurangan DPT yang dimiliki Polda. Dua hari setelah penetepan tersangka ketua KPUD Jatim (yang mungkin membawa nama Gubernur Jatim sekaligus partai pendukung Karsa yakni Demokrat) oleh Herman SS, tanggal 19 Februari 2009, ia diberhentikan sebagai kapolda Jatim (alasan masa pensiun) dan digantikan oleh Brigjen Pol Anton Bahrul Alam. Herman SS pun dimutasikan. Tidak hanya berhenti disana saja, awalnya Kapolda Jatim baru Anton Bahrul berjanji akan melanjutkan pengusutan kasus tindak pidana pilgub Jatim tersebut. Namun, aneh bin ajaib, kurang dari 10 hari pasca berhentinya Kapolda Jatim yang lama, status tersangka Ketua KPUD Jatim dianulir dan dijadikan sebagai saksi saja pada tanggal 27 Februari 2009. Padahal, sesuai prosedur hukum dan data kepolisian, ketua KPUD layak dijadikan tersangka.
Kita tahu bahwa salah satu partai pendukung Gubernur Jatim Soekarwo-Saifullah Yusup adalah partainya Presiden kita yakni Partai Demokrat. Jika kasus pidana pilgub Jatim ini diteruskan, maka citra Partai Demokrat dan Presiden SBY akan memudar dan bahkan belangnya akan semakin terlihat. Dan tentu, hal ini telah diantisipasi oleh sejumlah politikus dan tidak tertutup kemungkinan bisikan Kapolri Bambang Hendarso yang menberhentikan Herman SS adalah bisikan “majikannya” yang tidak lain tidak bukan adalah SBY ataupun partainya Demokrat.
Budaya mengundurkan diri.
Irjen Pol Herman S Sumawiredja, mantan Kapolda Jawa Timur ini mengajukan pengunduran dirinya sebagai polisi kepada Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pertanggal 1 Maret 2009. Keputusannya untuk pensiun dini selain karena tidak ingin makan gaji buta, juga karena kekecewaannya terhadap pimpinan Polri yang dinilainya terlalu jauh mengintervensi penyidikan kasus pelanggaran Pilkada Jawa Timur. Sesuai UU No 2 Tahun 2002, pensiun itu umur 58 tahun. Jadi kalau belum 58 tahun sudah keluar berarti mengundurkan diri dan itu sah menurut UU.
Mengundurkan diri karena merasa tidak lagi mampu meneruskan kepemimpinan bukanlah pilihan yang salah, akan tetapi merupakan pilihan yang tepat. Karena jika pemimpin itu memaksakan diri untuk terus memimpin berarti dia telah mendzolimi dirinya sendiri. Kita patut belajar kepada Jepang. Di Negeri Matahari Terbit ini, tradisi mengundurkan diri atau pemimpin yang meminta maaf karena kesalahan yang telah dilakukan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh bawahannya, sudah sangat kental. Jiwa kesatria untuk mengakui kesalahan dan ketidakmampuan tertanam dalam diri para pemimpin mereka.
Sering pemimpin, baik instansi pemerintah maupun swasta, meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan oleh bawahannya. Bahkan tidak jarang pemimpin yang mengundurkan diri karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi memimpin. Yang terbaru adalah, pengunduran diri Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fukuda pada hari Senin, 1 September 2008. Dalam pidatonya, beliau menyebutkan alasan pengunduran dirinya adalah karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi mengatasi kebuntuan politik di parlemen. Demi kepentingan yang lebih besar (bangsa dan negara), beliau menyatakan mengundurkan diri dan beliau yakin bahwa banyak lagi yang bisa jadi pemimpin yang akan menggantikannya akan mampu membawa Jepang keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebuah pidato yang mensiratkan bahwa beliau dengan ikhlas mundur karena beliau merasa sudah tidak mampu lagi menjadi Perdana Menteri. Pidato pengunduran diri yang belum pernah kita dengar di Republik Indonesia tercinta.
Terlalu jauh saya melihat dan membanggakan para pemimpin dari Jepang, Korea, USA dan sebagainya karena mereka tidak menjadikan jabatan sebagai tuhan. Banyak pemimpin atau calon pemimpin RI yang menjadikan jabatan sebagai Tuhan gaya baru dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan jabatan itu. Padahal jabatan hanya sekitar untuk 5 tahun saja bagi Bupati, Gubernur, atau Presiden atau 25 untuk PNS, setelah itu harus dipertanggung jawabkan dihadapan hukum, masyarakat dan Tuhan di akhirat.
Ternyata ada juga pemimpin RI yang berjiwa besar seperti orang Barat, Eropa atau Asia lainnya. Mereka hanya menjadikan jabatan sebagai alat untuk berbakti kepada rakyat, agama dan Negara. Maka disaat apa yang dilakukannya jauh dari tujuannya, maka dengan tidak merasa sayang dia meninggalkan jabatan itu.
Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak sehaluan lagi dengan Soekarno. Soekarno yang di tunjuk sebagai sopir ketika itu membawa mobil ini kearah yang tidak sesuai dengan apa yang dulu sama-sama diperjuangkan di cita-citakan oleh para tokoh pejuang kemerdekaan tidak sesuai. Hatta merasa tidak cocok lagi dengan Soekarno selaku presiden. Ia menganggap rekannya dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia itu sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin dengan cara non-demokratis. Sebagai pejuang demokrasi, Hatta tidak bisa menerima perilaku Soekarno. Dalam sebuah wawancara, putri Hatta, Meuthia, menyatakan, "Setelah agak besar, saya mengetahui pengunduran diri itu dilakukan karena perbedaan prinsip." Pada 1960, Hatta menulis Demokrasi Kita di majalah Pandji Masyarakat. Ini sebuah risalah yang menonjolkan pandangan dan pikiran Anak Minang itu mengenai demokrasi di Indonesia. Tentu saja, tulisan tersebut sarat dengan kritik terhadap praktik Demokrasi Terpimpin saat itu. Setelah Hatta mundur, di Indonesia tidak ada lagi seorang wakil presiden yang mendampingi Soekarno. Praktis sejak 1956-1967, Soekarno menjalankan roda pemerintahan seorang diri. Indonesia baru memiliki wakil presiden pada 1973, bukan untuk mendampingi Soekarno melainkan Suharto . Ibrahim mengundurkan diri dari Jabatan Gubernur Sumatera Barat. Keputusan gubernur Sumbar mengundurkan diri menunjukkan sikapnya yang ksatria, dan menantang kesemena-menaan pemerintah pusat. Lebih baik mundur daripada bekerja sama dengan otoriter. Habibie dalam ini kembali membuktikan bahwa ia bagian dari orde baru, mempertahankan cara-cara pemaksaan kehendak yang biasa dilakukan Suharto. Beliau terkenal sebagai pribadi yang jujur, tidak mabuk kekuasaan dan harta. Mundurnya beliau membuktikan demikian kuatnya tekanan pemerintah pusat terhadap daerah, otonomi yang didengung-dengungkan tidak lebih dari tahi kucing. Apa sebetulnya yang dikehendaki pemerintah pusat dengan memaksakan wakil gubernur tanpa lewat cara-cara yang demokratis. Proyek pemenangan Golkar, untuk menutupi kasus-kasus korupsi di Sumbar, tidak sedianya gubernur Sumbar untuk berbuat mencurangi anggaran/proyek, dll. Karena pak Ibrahim bukannya tipe orang yang mau menjual diri.
Bila dibandingkan dengan Soekarno dan Soeharto yang bercita-cita mahu menjadi presiden seumur hidup dan tidak mahu turun kecuali diturunkan, atau Gusdur yang tidak mau dan harus dipaksa keluar dari Istana negara setelah diberhentikan dari jabatan Presiden oleh DPR/MPR atau ramai lagi pemimpin sekarang ini yang mabuk kekuasaan dan wang yang menjadikan jabatan sebagai tujuan (tuhan) bukan alat untuk membela nasib-nasib rakyat. (Pemimpin Contoh; Afriadi sanusi Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 02/12/08, www.okezone.com).
Menurut Irjen Pol Herman SS, Pilkada Jawa Timur yang akhirnya memenangkan pasangan Sukarwo dan Syaifullah Yusuf penuh dengan kecurangan dan mengandung unsur pidana. Kuatnya bukti pidana dalam penentuan daftar pemilih tetap di wilayah Sampang dan Bangkalan menjadikan Ketua KPUD Jawa Timur, Wahyudi Purnomo menjadi tersangka. Namun tak lama setelah penetapan tersangka itu, jabatan Herman pun dicopot dan digantikan oleh Brigjen Pol. Anton Bahrul Alam, disusul dengan perubahan status Ketua KPUD yang awalnya telah ditetapkan menjadi tersangka menjadi saksi.
Menurut Herman, salah satu faktor pencopotannya dari jabatan Kapolda Jawa Timur erat kaitannya dengan kasus Pilkada Jawa Timur. Tapi pernyataan Irjen Pol Herman S Sumawiredja dibantah Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanagara. Menurut Makbul, pencopotan mantan Kapolda Jawa Timur, Irjen Herman S. Sumawiredja tidak ada kaitannya dengan kasus dugaan kecurangan Pilkada Jatim yang akhirnya menetapkan Ketua KPUD Jawa Timur Wahyudi Purnomo sebagai tersangka. Makbul menilai, perubahan status Ketua KPUD Jawa Timur dari tersangka menjadi saksi itu berdasarkan hasil supervisi Kabareskrim Polri selaku pembina fungsi penyidik. Penurunan status tersangka menjadi saksi dilakukan mengingat belum adanya bukti kuat dan keterangan saksi yang bisa menjerat Ketua KPUD Jatim menjadi tersangka.
Pengunduran diri ini dinilai sangat gentlemen, walaupun pada akhirnya Herman sendiri menjadi ragu-ragu setelah bertemu dengan kapolri langsung. Pengunduran diri karena alasan tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik, atau karena merasa gagal menjalankan tugas adalah sangat positif. Tetapi budaya ini belum lazim di Indonesia, karena pengunduran diri seorang bawahan bisa mencemarkan nama baik atasan dan institusi tempat orang itu bekerja, yaitu Polri. Pada akhir episode ini herman belum diijinkan keluar dari Polri oleh orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia.
Fungsi dan peran Polri.
Sesuai Tap MPR No VII/MPR/2000 pasal 10, kedudukan Polri berada dibawah Presiden, Polri bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. Namun karena kedudukannya yang langsung berada di bawah Presiden, berarti presiden dapat memberikan pengaruhnya sebagai bagian dari hak prerogratif. Sepanjang pengaruhnya adalah untuk kebaikan negara, maka Polri akan menjadi lebih baik ke depan.
Menurut Makbul, dalam kasus itu Herman telah terburu-buru menetapkan status Wahyudi. Sebab, berdasarkan pemeriksaan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji ke lapangan, kasusnya belum bisa ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Kemudian saat melaporkan dugaan kecurangan ke polisi, Panitia Pengawas Pemilu hanya melampirkan fotokopi DPT. Panitia Pengawas yang berjanji akan menyerahkan DPT asli di kemudian hari, tapi kenyataannya tak diserahkan ke penyidik. Selain itu, ditambahkan, bahwa polisi juga belum mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke kejaksaan. Sehingga, syarat untuk menjadikan Wahyudi tersangka belum cukup
Kemudian, Makbul membantah pencopotan Herman terkait kasus itu. Menurutnya, pencopotan itu adalah hal biasa menjelang pensiunnya Herman di bulan Mei. Pimpinan Polri juga sepakat untuk melakukan penggantian Kepala Polda yang pensiun di hari-hari puncak pemilihan umum.
Menyikapi Mundurnya Irjen Pol Herman Surjadi Sumadiredja dinilai sebagai tamparan keras bagi Polri. Lembaga kepolisian pun diminta untuk mengintrospeksi diri. Apalagi muncul dugaan adanya intervensi kasus. Hal Ini merupakan tsunami besar yang melanda Polri di tengah upaya semua pihak menciptakan Polri yang berintegritas profesional dan independen. Di lain pihak, Sebagai partai pengusung Khofifah Indar Parawansa, PPP melihat adanya dugaan intervensi dalam pemalsuan DPT di Pilkada Jatim sebagai tamparan luar biasa bagi semua pihak..
Kenyaraan yang terjadi adalah bahwa Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Polisi Daerah Jawa Timur. Tudingan kemudian muncul bahwa pencopotan Kapolda jatim tersebut terkait dengan kasus Pilkada Jatim, Tapi menanggapi hal ini Polri membantah. Dalam pandangan polri tidak ada istilah pencopotan. Hal itu hanya sekdar untuk gigi. Yang merupakan proses alamiah dan sebagai hal yang biasa.
Dalam jumpa pers, Makbul khusus menanggapi mundurnya Herman, di Mabes Polri pada Selasa (17/3), Menurutnya, tahun 2009 ini digelar pemilu tahap inti. Dan dari tanggal 16 Maret sampai Pemilu Presiden nanti terdapat proses yang cukup panjang. Jadi berdasarkan perkiraan dan sebagainya bahwa dalam tahun 2009 dalam menginjak tahapan pemilu inti itu tidak ada lagi mutasi-mutasi untuk kepala satuan wilayah (Kasatwil) dan pejabat tertentu di Polda.
Dan jabatan Kasatwil itu adalah jabatan Kapolda, Kapolres, Kepala Biro Operasi, dan intelijen atau yang menentukan pengamanan pemilu sehingga kebijakan Kapolri atas rujukan para staf, untuk para Kasatwil yang kelahirannya pada saat pemilu berlangsung untuk dilakukan mutasi, bukan pensiun. Hal ini sesuai dengan UU No 2 Tahun 2002, pensiun itu umur 58 tahun kalau di bawah itu kalau mengundurkan diri dengan alasan tertentu bisa saja dilakukan.
Dalam banyak hal, sejumlah pihak merasa ada tarikan kepentingan yang kuat dari penguasa atau kekuatan politik tertentu terhadap Polri dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal itu sangat terasa dalam kasus Pilgub Jatim, yang mendorong pengunduran diri mantan Irjen (Pol) Herman Surjadi Sumawiredja dari Polri, setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Jatim. Untuk itu, banyak pihak menyerukan permintaan agar Polri bisa bersikap netral, terutama menjelang Pemilu Legislatif, serta Pilpres, Juli mendatang. Melihat ini, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menyatakan, bahwa terlihat kembali adanya indikasi ketidaknetralan Polri dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia seperti contoh Kasus pada Pilgub Jatim yang baru lalu. Ray Rangkuti juga mendesak Komisi III DPR yang membidangi hukum, harus segera memanggil Kapolri dan meminta penjelasan tentang dibalik pencopotan Herman sebagai Kapolda Jatim, yang pada kahirnya memaksa yang bersangkutan mengundurkan diri dari Polri, lantaran kekecewaannya terhadap sikap Mabes Polri tersebut. Pengunduran diri Herman dari Polri tidak bisa dianggap remeh, dan tidak bisa dilihat hanya dari aspek bahwa yang bersangkutan mendekati masa pensiun.
Sikap Herman yang dipicu kekecewaan karena intervensi Mabes Polri saat pihaknya mengusut dugaan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, serta penetapan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka, merupakan pesan penting bagi publik menjelang pemilu, terutama terkait netralitas aparat negara.
Terkait dengan hal ini, juru bicara 15 parpol yang tergabung dalam Blok Perubahan, Adhie Massardi menilai bahwa ada indikasi Polri menjadi bagian dari tim pemenangan pemilu untuk kekuatan politik tertentu. Jika Kapolri tidak menjelaskan secara terbuka, rakyat bakal sangsi Polri akan netral dalam Pemilu nanti. Senada dengan itu, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyatakan, pengunduran diri Herman membuktikan masih ada tarikan kepentingan politik kekuasaan yang bisa mengancam netralitas Polri sebagai pemegang kuasa pengamanan. LSM tersebut khawatir, Pemilu Legislatif dan Pilpres mendatang akan dicemari manipulasi yang justru disokong aparat keamanan, yang seharusnya menjamin berlangsungnya pesta demokrasi secara jujur, adil, bebas, dan rahasia.
Pengunduran diri Herman, pada akhirnya menyadarkan peserta pemilu mengenai potensi manipulasi DPT. Seluruh parpol peserta pemilu mulai memperketat mekanisme pengawasan seluruh tahap pemilu. Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Ali Kastella menjelaskan, untuk mengantisipasi manipulasi DPT, Hanura sudah menyiapkan saksi-saksi yang akan ditempatkan mulai dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga penghitungan terakhir di tingkat nasional. Saksi tidak hanya memantau jalannya pemungutan suara, tetapi juga ikut mengawasi jumlah pemilih tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU. Sejalan dengan itu, Ketua Umum DPP Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Mentik Budiwijono melihat titik krusial suksesnya pemilu ada pada profesionalitas dan independensi instrumen pelaksana yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan Panwaslu, serta instansi terkait seperti Polri. Meski demikian, PPDI juga akan menyebar saksi dan kadernya, tak hanya di TPS, tetapi juga di lingkungan TNNI dan Polri, untuk mengawasi netralitas kedua aparat negara tersebut.
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menyayangkan kinerja KPU yang tidak mampu menjamin DPT bebas dari manipulasi. Untuk itu, Bawaslu diminta terus mengawal DPT. Secara terpisah, pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens menegaskan, KPU harus mampu menjaga independensinya. Dan mengingatkan, kehadiran saksi di tiap TPS hanya efektif dalam proses pemungutan hingga penghitungan suara. Ditambahkan pula, sesuai UU, Menteri Dalam Negeri dapat mengambil alih tugas KPU terkait dengan DPT. Jika KPU dianggap gagal dan diambil alih Mendagri, itu sangat fatal, dan berpotensi sangat kental aroma kepentingan incumbent.
Menyikapi pengunduran diri mantan Kapolda Jatim Irjen (Pol) Herman Surjadi Sumawiredja, dan pengungkapan adanya intervensi Mabes Polri dalam penanganan dugaan manipulasi DPT di Kabupaten Sampang dan Bangkalan, Madura, kubu "Kaji" (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) mendesak Polri tetap mengusut kasus tersebut hingga tuntas. Mudjiono menegaskan, jika Polri tidak melanjutkan penyelidikan, pihaknya akan memperkarakan Polisi.
Meskipun sebagai pihak yang dirugikan dalam kasus tersebut, Mudjiono, parpol dan pendukungnya untuk menahan diri dan menyerahkan kasusnya ke penegak hukum. Ia jugamenyebut, langkah tim "Kaji" menggugat kecurangan dalam pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang adalah memerangi kejahatan politik yang dapat merusak tatanan demokrasi di Jatim. Ia tidak sepakat dengan penilaian banyak pihak yang menyebut kejahatan politik pada Pilgub Jatim pada putaran kedua sangat luar biasa.
Sedangkan Gubernur Jatim Soekarwo menegaskan, pengunduran diri Herman dari Polri karena kecewa terhadap sikap Mabes Polri dalam penanganan dugaan kecurangan saat Pilgub Jatim, tidak mengurangi legitimasi dirinya bersama Saifullah Yusuf, sebagai gubernur dan wagub. Dengan demikian, dia berharap, itu tidak mengganggu jalannya pemerintahan Jawa Timur yang diembannya.
Diakui atau tidak, kasus mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja yang dicopot dari jabatannya cukup menampar muka Polri sendiri sebagai lembaga penegak hukum, karena mau tidak mau kasus ini telah menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat. Apalagi embel-embel kasus itu sebagaimana pernyataan Herman, ada intervensi Mabes Polri terkait perkara dugaan pemalsuan suara pada Pilkada Jatim baru lalu dan telah ditetapkannya Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka.
Herman juga secara khusus menggelar jumpa pers, menjelaskan tentang kasus pencopotan dirinya dan adanya intervensi Mabes Polri terhadap kasus yang sedang ditanganinya. Kendati memang akan memasuki masa pensiun beberapa bulan lagi ( 1 Juni 2009), Herman menyatakan mundur dari keanggotaan Polri.
Menanggapi pernyataan ini, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) terkesan reaktif dan menyampaikan klarifikasi terkait pernyataan Herman, dan menegaskan tidak ada persoalan dalam pergantian Herman sebagai Kapolda. Kasus pencopotan Kapolda Jatim dan aksi Irjen Pol Herman sendiri, paling tidak menyisakan dua pertanyaan; Pertama, apakah kalau tidak ada apa-apanya bila dianggap wajar dan biasa saja, tidak mungkin Herman bertindak sebodoh itu. Sebab, bukankah masa pensiunnya sebagai perwira tinggi tinggal menghitung bulan, dan kalau dia baik-baik saja alias nrimo terhadap segala kebijakan Mabes Polri tentu dia akan dengan tenang memasuki masa pensiun secara terhormat. Apakah kalau kasus ini tidak ada ''apa-apanya" seorang Irjen Pol yang segera memasuki masa pensiun mau mengambil tindakan yang jelas-jelas menempatkan dirinya berhadapan dengan Mabes Polri yang selama ini membesarkannya ?
Kedua, bagaimana kelanjutan dan penyelesaian kasus dugaan pemalsuan suara yang tersangkanya adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur ? Bukankah kasus ini sangat serius mengingat proses Pilkada yang baru dilalui Jawa Timur sarat dengan tudingan manipulasi dan sangat kontroversi ?
Perlu dicatat, bahwa kasus Pilkada Jatim sarat dengan dugaan-dugaan manipulasi sehingga Mahkamah Konstitusi memerintahkan dilakukannya pemilihan ulang di beberapa daerah. Kasus Pilkada Jatim dimana dua pihak yang bertarung (kontes) memiliki perbedaan perolehan suara yang sangat tipis, termasuk kasus kontroversi. Dalam kaitan ini masyarakat tidak melihat siapa pejabat yang menanganinya. Masyarakat hanya melihat lembaga Polri, dalam hal ini Polda Jawa Timur yang telah menetapkan Ketua KPU Jatim sebagai tersangka. Karenanya, apa pun penjelasan Mabes Polri terhadap kasus ini “kalau tidak hati-hati” hanya akan membuahkan sinisme di tengah masyarakat. Masyarakat akan curiga bahwa ternyata Mabes Polri ikut bermain politik.
Masyarakat meminta komitmen dari Mabes Polri dan dari Kapolri sendiri agar kasus ini betul-betul ditangani secara hukum, tidak dimentahkan, dan tidak ada hal-hal yang ditutupi. Tak berlebihan jika dikatakan kasus ini merupakan salah satu ujian, taruhan atas independensi Polri sebagai bhayangkara Negara. Dalam hal ini hendaklah seluruh pimpinan Polri bijak dan tidak sampai terpengaruh oleh kepentingan politik dari siapa pun datangnya.
Selain karena alasan hukum, kasus ini juga menjadi taruhan atas tegaknya demokrasi yang fair dan jurdil di negeri ini. Rakyat toh tidak bisa berbuat apa-apa apabila lembaga Negara sendiri tidak mau menjaga dan melaksanakan tanggungjawab atas terbangunnya demokrasi yang sehat di negeri ini. Kalau demokrasi rusak, pada gilirannya rakyat juga akan ikut-ikutan rusak. Dan kalau ini sampai terjadi, alamat kembalinya kekuasaan di negeri ini ke tangan rezim otoritarian sulit dhindari.
Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pencopotan kapolda Jatim lebih disebabkan karena adanya intervensi mabes Polri dalam pemutusan kasus adanya keterlibatan ketua KPUD Jatim yang pada awalnya ditetapkan sebagai tersangka kemudian berubah menjadi saksi. Hal ini kemudian menjadi suatu kekecewaan dari Kapolda Jatim yang telah memutuskan kasus ini dengan sejumlah bukti dan berkas penyidikannya sebelumnya. Sehingga dengan demikian Kapolda akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya bahkan dari keanggotaan Polri. Tindakan ini merupakan tindakan yang luar biasa dan mengejutkan berbagai kalangan khususnya Polri sendiri. Penyelesaian kasus ini akan menjadi batu ujian bagi kejujuran dan kewibawaan para penegak hukum nasional.
Demikian tulisan mengenai pencopotan kapolda Jatim dikaitkan dengan Pilkada Gubernur Jatim ini dibuat, semoga bermanfaat.

Bandung, 30 Maret 2009

Referensi :
1. Republika/Kam: Mahfud Penulis:Effendy | VO:Maya | Editor Video:Fajar |).
2. UU No 2 Tahun 2002.
3. Tap MPR No VII/MPR/2000 pasal 10.
4. Pemimpin Contoh; Afriadi sanusi Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 02/12/08, www.okezone.com.
Pelaksanaan Pengamanan Perbatasan Negara dihadapkan dengan
Pengembangan Postur TNI AD

Oleh : Sapuan, S.Sos

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar dan terluas di dunia yang terdiri dari lautan dan pulau-pulau besar maupun kecil yang berjumlah ± 17.506 pulau dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.290 Km dengan luas wilayah sekitar 7,7 juta Km2. Dari okndisi ini, Indonesia mempunyai wilayah perbatasan negara yang panjang serta mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara, sehingga pemerintah negara dan segenap komponen masyarakat Indonesia wajib memperhatikan kesejahteraan dan keamanan nasional di wilayah tersebut. Wilayah daratan Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini di pulau Papua dan Timor Leste di pulau Timor dengan karakteristik berbeda-beda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Wilayah perbatasan laut pada umumnya ditandai oleh pulau-pulau terluar yang hingga kini beberapa diantaranya masih perlu pengelolaan yang lebih intensif karena masih terdapat kecenderungan terjadinya berbagai permasalahan dengan negara-negara tetangga. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi serta keamanan yang masih sangat terbatas.
Beberapa permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan negara antara lain: Pertama, banyak belum tuntasnya kesepakatan perbatasan antarnegara, kerusakan tanda-tanda fisik perbatasan dan belum tersosialisasinya secara baik batas negara kepada aparat pemerintah dan masyarakat. Kedua, kesenjangan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga maupun wilayah sekitarnya, sehingga masyarakatnya menjadi seolah-olah terpinggirkan. Ketiga, luas dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan Provinsi dan Kabupaten; keterbatasan aksesibilitas yang mengakibatkan sulitnya dilakukan pengawasan dan pengamanan; Keempat, penyebaran penduduk yang tidak merata dengan kualitas SDM yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali khususnya hutan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup disekitarnya. Demikian pula dengan kurang terkendali serta lemahnya sistem informasi dan komunikasi. Bahkan lemahnya penegakkan hukum serta kesenjangan ekonomi antarwilayah tersebut telah mendorong terjadinya kegiatan ilegal di wilayah perbatasan seperti perdagangan illegal (illegal trading), lintas batas ilegal, perdagangan manusia (human traficking), penambangan illegal, penebangan hutan ilegal (illegal logging) dan kejahatan transnasional (transnational crimes) lainnya menjadi kasus-kasus keamanan yang terjadi hampir di seluruh wilayah perbatasan. Selain itu, sebagai dampak dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antarnegara, maka wilayah perbatasan pun rawan terhadap infiltrasi asing dan tempat persembunyian kelompok separatis.
Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan memiliki potensi kerawanan baik internal maupun eksternal. Dari aspek internal, masyarakat perbatasan yang terpencil, miskin dan terpinggirkan akan memiliki kesadaran atau wawasan kebangsaan yang rendah serta tidak dapat diandalkan sebagai pilar keamanan, yang akhirnya dapat membahayakan eksistensi negara. Dari aspek eksternal, wilayah perbatasan merupakan wilayah terbuka bagi pihak luar untuk masuk ke wilayah Indonesia maupun bagi warga negara Indonesia untuk ke luar, sehingga apabila wilayah perbatasan tidak diamankan secara baik, dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Untuk itu, peran TNI khususnya TNI AD dalam melaksanakan tugas pengamanan di wilayah perbatasan menjadi demikian sangat diharapkan sebagai ujung tombak dalam menangkal kemungkinan adanya ancaman, gangguan, hambatan serta tantangan yang mungkin datang dan akan mengancam bagi kelangsungan dan kedaulatan NKRI yang dicintai ini.
Kemudian, kondisi nyata yang dihadapi adalah semakin berkembangnya pengaruh Global yang berpengaruh pula pada Lingkungan strategis khususnya wilayah dan kawasan perbatasan yang ada di Indonesia, menjadikan berkembangnya permasalahan yang semakin kompleks di perbatasan. Menghadapi kenyataan ini, maka tuntutan akan kemampuan yang lebih baik dari TNI AD selaku pemegang peran pertahanan Negara di wilayah darat menjadi semakin sangat kuat sehingga menuntut keberadaan postur TNI AD yang prima dan siap sedia dihadapkan dengan perkembangan lingkungan yang terjadi dan dinamis.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, dapatlah ditarik pokok permasalahannya : bagaimana pelaksanaan pengamanan perbatasan Negara yang optimal dihadapkan dengan pengembangan postur TNI AD saat ini ?
Kedaulatan negara menunjukkan integritas dan martabat suatu bangsa dan harus dijaga keutuhannya. Negara yang tidak mampu menjaga kedaulatan setiap jengkal wilayahnya, termasuk daerah perbatasan menggambarkan lemahnya keutuhan dan kedaulatan negara tersebut. Kedaulatan negara menurut pengertian dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yaitu kedaulatan di tangan rakyat dengan berdasarkan kepada kelima butir Pancasila. Dalam konsep Wawasan Nusantara, Kedaulatan NKRI dijabarkan merupakan suatu konsep kesatuan wilayah yang mencakup darat, laut (termasuk dasar laut dan daratan di bawahnya) dan udara. Kedaulatan tersebut juga meliputi penguasaan dan kewenangan atas pengelolaan SDA dan pengaturan alur laut ALKI. Sejak diakuinya konsep Wawasan Nusantara oleh dunia internasional dalam Konvensi Laut PBB tahun 1982 (yang telah berlaku sejak 16 Nopember 1994) telah memperluas kewenangan Indonesia tidak saja terhadap wilayah kedaulatannya atas perairan Nusantara dan Laut Wilayah yang mengelilinginya, tetapi juga hak-hak di luar perairan Nusantara dan di dasar laut serta tanah di bawahnya di landas kontinen Indonesia (Zona Ekonomi Ekslusif) sejauh 200 mil.
Sementara itu, TNI AD sebagaimana diamanatkan UU NO 34/2004, mengemban peran, fungsi, dan tugas-tugas TNI matra darat di bidang pertahanan dan keamanan negara. Pada lingkup pembinaan dituntut untuk senantiasa mewujudkan kesiapan operasional satuan di seluruh jajaran TNI AD, mencakup suatu keutuhan sistem kesenjataan matra darat, yang bertumpu kepada keterpaduan sumber daya manusia, alat peralatan dan perangkat lunak yang handal dan dinamis.
Kesiapan operasional TNI AD yang prima akan mampu mewujudkan kesiagaan operasional TNI dalam menghadapi hakikat ancaman yang menyangkut tugas TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara, baik itu tugas dalam suatu operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut kita harus mampu mengenali dan mengantisipasi setiap perkembangan lingkungan yang sangat dinamis, yang akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap upaya-upaya pembinaan dan pembangunan TNI pada umumnya, dan TNI AD pada khususnya. Oleh Karena itu setiap pimpinan haruslah mampu mengambil kebijakan dan keputusan yang tepat dan proporsional, dengan menerapkan pola manajemen yang rasional dan realistik serta menentukan prioritas-prioritas secara tajam yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
Dinamika perkembangan lingkungan senantiasa bergerak sangat cepat dan dinamis baik pada tingkat global dan regional maupun pada tingkat nasional. Hal ini akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan tugas-tugas TNI secara keseluruhan saat ini maupun ke depan. Berbagai kecenderungan menunjukkan hakikat tantangan dan permasalahan yang dihadapi menjadi semakin beragam dan semakin kompleks, dengan intensitas yang tinggi. Sedangkan di sisi lain kemampuan negara sampai dengan saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan ideal TNI, baik menyangkut kebutuhan untuk modernisasi maupun pemeliharaan alat utama sistem senjata, pemeliharaan perangkat keras, peningkatan profesionalisme serta kebutuhan perbaikan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Dalam kondisi seperti itu TNI AD yang kekuatan utamanya terletak pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang ditopang dengan alat utama sistem senjata, harus mampu secara inovatif untuk terus menerus melakukan pembinaan secara tepat, terarah dan berkesinambungan. Kemampuan TNI AD yang handal yang disusun melalui gelar kekuatan terpusat dan kewilayahan baik gelar satuan maupun alat peralatannya, dilakukan dengan suatu pertimbangan matang dan terukur, strategi ini diharapkan akan menjadikan TNI AD benar-benar mampu melaksanakan tugas, dalam melaksanakan amanah menjaga kedaulatan dan integritas wilayah nasional, harus juga mampu melaksanakan tugas- tugas seperti yang diamanatkan UU 34/2004 tentang tugas-tugas TNI AD yang lainnya. Hal-hal tersebut perlu menjadi orientasi arah pembinaan dan pembangunan postur TNI AD ke depan, baik yang menyangkut struktur kekuatan, tingkat kemampuan dan konsep gelar, untuk mampu mengantisipasi setiap ancaman dan dinamika tantangan di masa depan.
Dalam menyikapi tuntutan yang semakin mengemuka dalam mewujudkan suatu kehandalan dalam memaksimalkan peran TNI selaku pelaksana fungsi pertahanan Negara khususnya dalam menangkal segala sesuatu yang semakin mengemuka di wilayah perbatasan, hal ini tidak terlepas dari siklus yang terjadi di tingkat pusat. Imbas dari reformasi yang melahirkan transformasi TNI menjadikan tuntutan profsionalisme yang semakin kuat dan memisahkan TNI khususnya TNI AD dari peta perpolitikan Negara.
Kenyataan yang terjadi kemudian, bahwa Transformasi TNI yang digulirkan sejak dimulainya reformasi tahun 1999 menuju Indonesia yang demokratis, sampai saat ini masih banyak menemui hambatan. Walaupun TNI telah menyatakan tekadnya untuk menjadi militer yang profesional, namun masalah hubungan sipil-militer di Indonesia tidak begitu saja terselesaikan. Hubungan sipil-militer, bagaimana pun juga akan menimbulkan konsekuensi yang harus dipenuhi kedua pihak. Sipil membutuhkan militer untuk menjaga wilayah dan kedaulatan negara, sedangkan militer membutuhkan dukungan sipil atas alokasi anggaran dalam rangka mengatasi berbagai ancaman yang timbul. Saat ini, persoalan yang paling mendesak dan menjadi kewajiban sipil adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI dalam konteks demokrasi.
Keberhasilan pembangunan landasan hukum ini sebenarnya sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki sipil. Tentang bagaimana pemimpin sipil mampu membangun militer yang profesional dalam tatanan demokratis. Faktanya, sampai hari ini, ketidaksepakatan di kalangan pemimpin sipil tentang konsep keamanan negara menjadi sebab dari inkonsistensi regulasi yang ada. Persoalan menjadi semakin kompleks dengan adanya wacana sipil yang mengatakan bahwa demokrasi dan militer adalah dua hal yang tidak dapat disatukan. Pemikiran seperti ini hanya membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militernya. Seakan-akan, militer tidak dibutuhkan lagi dalam demokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah negara sebenarnya membutuhkan “pengawal.” Demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, faktanya akan melahirkan banyak kepentingan yang perlu dikelola dengan tepat. Pada titik inilah, peran militer yang kuat guna menjaga demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat dibutuhkan.
Militer dan demokrasi bukanlah sesuatu yang bertentangan. Sebagai contoh, Amerika Serikat, sebagai negara yang mengklaim paling berdemokrasi di muka bumi, pada faktanya memiliki militer yang paling kuat di dunia. Bagaimanapun juga, militer hadir sebagai komponen inti untuk menjaga kedaulatan negara dan pilihan rakyatnya untuk berdemokrasi sesuai dengan tujuan nasional yang telah ditetapkan.
Persoalan di atas minimal dapat dilihat dari prioritas kebijakan sipil terkait dengan pemisahan TNI dan Polri serta pemaknaan atas pertahanan dan keamanan yang diatur dalam Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000. Akibatnya, pembangunan kekuatan Polri mendapat first priority dengan anggaran yang besar, di mana TNI akhirnya menjadi second piority. Kebijakan ini dibangun berdasarkan pertimbangan bahwa ancaman militer tidak akan datang dalam kurun waktu 5 sampai 15 tahun mendatang.
Di sisi lain lagi, Polri langsung bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan TNI di bawah Menteri Pertahanan. Di samping itu, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan ditetapkan sebagai rujukan untuk menyusun UU TNI, UU keterlibatan rakyat sebagai komponen cadangan, penentuan sumber daya nasional sebagai komponen pendukung, serta penyusunan Dewan Pertahanan Nasional. Sedangkan UU Kepolisian Negara langsung merujuk kepada Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000 serta menempatkan posisi Polri untuk tidak terlibat atau tidak melibatkan diri dalam Sishankamrata sebagai strategi nasional.
Di samping itu, terbatasnya kemampuan pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran TNI yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit maupun perbaikan dan peningkatan kualitas serta kuantitas alutsista, juga merupakan salah satu konsekuensi dari transformasi militer yang sampai saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Bahkan, prosedur penurunan anggaran TNI pun masih harus melalui proses birokrasi yang panjang, mulai dari Departemen Keuangan, Bappenas, DPR, dan Departemen Pertahanan. Akibatnya, instruksi anggaran TNI yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, dalam pelaksanaannya terlambat tiga sampai empat bulan.
Walaupun demikian, setitik harapan muncul dari kalangan TNI seiring dengan komitmen sipil menaikan gaji prajurit sampai 20% dan berbagai rencana perbaikan kesejahteraan TNI, serta disepakatinya kerjasama pengadaan persenjataan dengan Rusia melalui pinjaman negara (state credit) yang dapat dipakai untuk membeli berbagai alutsista yang dibutuhkan TNI.
Bagi TNI sendiri, akibat dari adanya inkonsistensi kebijakan sipil dan keterbatasan anggaran, menyebabkan banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Kerjasama pengadaan alutsista dengan Rusia memang memberi kepastian untuk melakukan berbagai perbaikan dan penggantian alutsista TNI yang out of date dan tidak berfungsi.
Namun, hal yang terpenting bukanlah semata-mata persoalan mana senjata yang perlu diganti dan mana yang masih layak untuk dipakai. Lebih dari itu, dalam membangun TNI yang profesional dan berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand design atas Postur TNI yang ideal.
Kita semua tahu bahwa ideal berbeda dengan kenyataan. Namun demikian, tanpa idealisme, kita tidak akan pernah tahu ke mana tujuan TNI dan bagaimana TNI yang kita cintai ini harus dibangun. Bagaimanapun juga, idealisme sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mencapai cita-cita pembangunan Postur TNI yang kuat, berwibawa, dan profesional.
Terkait dengan persoalan gelar kekuatan TNI, secara ideal, dengan mempelajari luasnya wilayah daratan, lautan dan udara, serta daerah perbatasan dengan negara tetangga yang dihadapkan pada potensi ancaman, dapat di bagi kedalam empat wilayah pertahanan, sebagai berikut; Kowilhan I bermarkas di Jakarta, Kowilhan II bermarkas di Medan, Kowilhan III bermarkas di Samarinda dan Kowilhan IV bermarkas di Jaya Pura.
Secara umum, kekuatan TNI AD yang ideal harus menggelar sebanyak 816 batalion tempur dan teritorial, 4 divisi terpusat (Kostrad dan Kopassus) serta 16 skuadron heli-serbu dan heli-angkut. Sedangkan kekuatan TNI AL yang ideal menggelar sebanyak 14 skuadron tempur (KRI), 42 skuadron terbang (KAL) yang berada dalam 4 kapal induk, 4 strategic section dengan kekuatan 14 kapal selam dimana 4 unit diantaranya strategic submarine serta 14 brigade marinir. Terakhir, kekuatan TNI AU yang ideal menggelar 140 skuadron tempur, 7 skuadron bomber, 27 satuan pertahanan udara, 40 satuan radar, dan 1 satuan strategic missile
Sejak tahun 1965-2000, tulisan Michael Leifer selalu dikaitkan dengan Singapura, terutama mengenai hubungan Singapura, Indonesia dan Malaysia, serta perannya di ASEAN dan kepentingan mengamankan kedaulatan perairannya. Menurut Tim Huxley (2005), Singapura sebagai negara kota harus memiliki posisi tawar di Asia Tenggara, terutama dengan dua negara besar yang mengapitnya, Indonesia dan Malaysia. Maka, SAF (Singapore Armed Forces) harus kuat dan memiliki kredibilitas di Asia Tenggara, tidak sebatas untuk mendukung kepentingan politik Singapura, namun juga menjaga keamanan regional. Maka, sejak tahun 1990, kebijakan luar negeri Singapura dibangun secara luas sebagai bentuk soft politics yang didasarkan pada kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer.
Berangkat dari kondisi ini dan juga memahami bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, maka, setidaknya, TNI harus memiliki postur yang “identik” dengan SAF, dengan kapasitas alutsista, SDM, dan anggaran yang disesuaikan dengan cakupan wilayah dan kondisi demografis berdasarkan karakter setiap angkatan dengan memperhatikan pula fakta atas keseimbangan kekuatan militer di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Kekuatan TNI yang ideal yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas setiap karakteristik matra pertahanan berdasarkan kebutuhan spesifik atas alutsista, jumlah dan kemampuan personel serta special force-nya dan juga forcasting anggaran pertahanan yang diperlukan, sebenarnya dapat diturunkan jika grand strategy telah dirumuskan dan kebijakan yang tepat telah ditetapkan. Persoalan ini sangat membutuhkan kapasitas visi politik sipil dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Dengan adanya komitmen yang kuat, niscaya sipil dapat merumuskan kembali transformasi militer secara tepat menuju TNI yang professional.
Bila dikaitkan dengan masalah Perbatasan yang semakin banyak dan maraknya kerawanan di wilayah perbatasan, hal ini merupakan imbas dari perubahan lingkungan strategi yang terjadi akibat globalisasi yang melanda dunia. Kondisi ini bila terus dibiarkan akan mengarah kepada ancaman terganggunya keutuhan dan kedaulatan NKRI. Dalam menghadapi keadaan ini, maka pengembangan postur TNI AD yang ideal muthlak diperlukan, yang tentunya dengan diimbangi pula oleh ketersediaan Alutsista yang sesuai dengan tuntutan yang ada.
Persoalan yang mengemuka kemudian adalah terjadinya keterbatasan anggaran, hal ini sangat kuat berpengaruh terhadap pengembangan postur TNI AD yang ideal. Keadaan ini memang dimengerti karena daya dukung yang dimiliki pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya bagi pertahanan dirasa masih rendah, sehingga harus disikapi dengan melaksanakan serangkaian pemangkasan dan penghematan terhadap sejumlah kebutuhan yang dinilai tidak terlalu diperlukan dan mendahulukan sesuatu yang diprioritaskan dengan skala prioritas yang ada.
Untuk menyikapi keadaan tersebut diatas, maka nilai-nilai kejuangan dari para personel TNI AD khususnya yang ditempatkan dalam tugas pengamanan di wilayah perbatasan muthlak ditingkatkan untuk menghindari terjadinya degradasi akibat pengaruh lingkungan strategis yang terus berkembang. Salah satunya adalah dengan pembinaan satuan dan pembinaan personel yang senantiasa diberikan oleh para Dansat di satuan masing-masing. Disamping itu perlunya pemenuhan kesejahteraan yang lebih baik untuk menghindari terjadinya kecemburuan social, dimana adanya kenyataan bahwa prajurit di Negara tetangga perbatasan memiliki kecenderungan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari prajurit personel TNI AD. Selain itu, bekal dalam jiwa korsa, 8 wajib TNI dan disiplin TNI muthlak pula dimiliki dan diaplikasikan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan beberapa upaya tersebut diharapkan pelaksanaan tugas dalam pengamanan wilayah perbatasan dapat berjalan sesuai dengan tugas pokok yang diembannya. Sehingga keutuhan dan kedaulatan NKRI dapat tetap dipertahankan dan dijaga selamanya.
Dari uraian diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam melaksanakan tugas pengamanan wilayah perbatasan, pengembangan postur TNI AD muthlak diperlukan untuk mengimbangi dinamika perkembangan yang terus maju seiring dengan globalisasi yang melanda dunia. Oleh karenanya maka peran kepimpinanan para Dansat dalam membawa anggota satuannya untuk bisa menjiwai semangat kejuangan dalam melaksanakan tugas pengamanan perbatasan sangat diperlukan, disisi lain perlunya pula ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya lewat perbaikan anggaran,
Demikian tulisan mengenai Pelaksanaan Pengamanan Pebatasan Negara Dihadapkan Dengan Pengembangan Postur TNI AD ini dibuat, semoga bermanfaat.


Bandung, 25 Mei 2009
Jatuhnya Pesawat Fokker 27 dan Permasalahan Alutsista TNI AU
Oleh : Sapuan, S.Sos

Dalam kurun waktu sembilan tahun sejak tahun 2000-2009, sekurang-kurangnya TNI telah kehilangan 26 pesawat terbang. Dengan demikian bangsa Indonesia akan sulit untuk mengatakan kebanggaan terhadap kehebatan Alutsista TNI ini. Karena nyatanya banyak pesawat TNI rontok dan jatuh ke bumi karena faktor usia yang sudah lama. Jatuhnya ke-26 pesawat milik TNI tersebut, membuktikan betapa perlunya memperbaiki kondisi Alutsista (alat utama sistem senjata) yang dimiliki TNI saat ini.
Pada pada penghujung tahun 2007, sebuah pesawat intai jenis Nomad P833 milik TNI AL terjun di perairan Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, 30 Desember 2007. Sepekan kemudian, di awal tahun 2008, giliran helikopter Twin Pack S-58, milik TNI AU yang jatuh di perkebunan sawit di Kabupaten Palelawan, Riau. Pebruari 2009, sebuah helicopter jatuh di perkebunan tebu di Subang dan hilangnya pesawat Casa 212 yang sedang melakukan ujicoba foto udara di wilayah Bogor. Empat kecelakaan pesawat yang memakan korban jiwa itu tentu membuat risau banyak kalangan. Tapi ada juga yang merasa mahfum dengan jatuhnya pesawat TNI tersebut. Sebab usia dua pesawat tersebut memang sudah tua.
Kejadian yang terakhir terjadi adalah jatuhnya Pesawat jenis Fokker A 27-30 TNI AU bernomor ekor F27/A2703. Pesawat ini dipiloti oleh Kapten Penerbang I Gede Agustirta Santosa dan co pilot Lettu Penerbang Yudo Pramono, yang kemudian menghantam hanggar Aircraft Services (ACS) PT Dirgantara Indonesia, Bandara Husein Sastranegara. Pesawat ini ditumpangi oleh 6 (enam) kru pesawat serta, 17 (tujuh belas) siswa Para Lanjut Tempur (PLT) A-33 Koprs Paskhas TNI AU yang tengah melakukan orientasi latihan penerjunan, dan satu orang personel instruktur Paskhas AU. Adapun latihan orientasi bagi siswa terjun nahas itu masih pada tahap pengakraban proses "exit" dari badan pesawat terbang, penegasan prosedur penerjunan di udara setelah proses latihan kering dilakukan, dan pengenalan cuaca di udara, dan hal-hal lain terkait masalah itu.

Instruksi Presiden
Berkaitan dengan kejadian tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan Panglima TNI Djoko Santoso segera melakukan investigasi terkait musibah jatuhnya pesawat milik TNI Angkatan Udara Fokker 27 di Lapangan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, Senin (6/4/2009).
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek) rencananya akan mengadakan audit teknologi terhadap pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara (AU), terutama yang sudah berumur di atas 20 tahun. Nantinya, hasil audit tersebut akan dijadikan rujukan atau rekomendasi mengenai kelayakan sebuah pesawat. Audit ini tentulah tak lepas dari peristiwa kecelakaan yang menimpa pesawat Fokker 27 dengan nomor A-2703 di Pangkalan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, pekan lalu, dengan korban tewas 24 orang. Sebenarnya, keluhan mengenai banyak pesawat TNI AU yang sudah tua bukanlah hal baru dan dapat dicatat sudah begitu banyak kecelakaan menimpa pesawat-pesawat milik TNI yang sudah tua. Sebagian kalangan menyebut sebagian dari armada terbang milik TNI itu sebagai the flying coffins (peti mati terbang).Sebaiknya, audit oleh pihak TNI ditujukan bukan hanya khusus terhadap pesawat, tetapi juga terhadap prosedur kerja menara pengawas lalu lintas udara (ATC), bagian cuaca, dan lain-lain. Kemudian, faktor kecakapan para penerbangnya, termasuk metode dan kepatuhan terhadap prosedur penerbangan. Artinya, bisa saja bukan hanya faktor pesawat (machine) yang menyebabkan kecelakaan penerbangan, tetapi juga unsur-unsur lain, yakni man (awak pesawat), media (cuaca, dll), method (prosedur kerja, dll) sehingga pada akhirnya target untuk mencapai zero accident dapat terwujud. Yang paling ideal memang secara bertahap pesawat-pesawat yang sudah berumur di atas 30 tahun tidak diterbangkan lagi, juga satuan-satuan pendukungnya diremajakan. Karena seideal apa pun prosedur diterapkan, faktor usia pesawat juga satu hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Meski suatu overhaul sulit tercapai di tengah keterbatasan anggaran TNI yang sangat parah, namun merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan anggaran pertahanan tersebut. Tujuannya demi pengadaan alutsista yang lebih baik dan tidak mengancam keselamatan jiwa para penggunanya.


Dampak dari kecelakaan pesawat TNI AU.
Kecelakaan pesawat terbang TNI AU yang terjadi dalam lima tahun terahir semakin mengurangi kesiapan tempur TNI AU. Kondisi ini secara langsung memperlemah kemampuan TNI AU menjaga kedaulatan negara di udara. Alutsista udara yang dimiliki dari waktu ke waktu semakin menurun ditambah dengan kecelakaan terahir.
Saat ini TNI-AU mempunyai 228 pesawat. Namun, yang layak terbang hanya 94 pesawat. Rinciannya, 75 pesawat tempur dengan kesiapan 27 pesawat (36 persen), dan dari 51 pesawat angkut hanya 21 pesawat layak terbang (41,17 persen). Lalu, untuk pesawat latih, ada 53 pesawat dengan kesiapan 21 pesawat. Untuk helikopter, yang berjumlah 50 buah, yang siap hanya separonya. Kesiapan rata-rata seluruh pesawat hanya 41,69 persen.
Kondisi kesiapan pesawat tempur saat ini berada di bawah standart. Misalnya pesawat tempur jenis F-5 Tiger buatan 1978, dari 12 yang dimiliki TNI AU, hanya empat yang dinyatakan siap. Hal sama juga dialami pesawat tempur Hawk MK-53 buatan 1977. Dari delapan unit yang ada, hanya satu unit yang dinyatakan siap atau layak operasi. Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan tahun 1975, dari tujuh yang ada, hanya empat yang masih siap terbang.
Mabes TNI AU, berdasarkan rencana strategis (Renstra) 2005-2009 sudah mengajukan anggaran untuk melakukan penggantian sejumlah pesawat tempur, seperti OV-10 Bronco, F-5 Tiger, Hawk MK-53, termasuk pesawat angkut Fokker-27 dan Helikopter Sikorsky. Namun sampai sekarang ini rencana penggantian dari pesawat-pesawat itu belum juga terealisasi.
Kondisi pertahanan memang sangat memprihatinkan. Tapi Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya anggaran yang cukup untuk membeli suku cadang atau melakukan perbaikan. Persoalan anggaran/dana dianggap sebagai permasalahan dari kelayakan pesawat tempur milik TNI AU. Akhirnya para mekanik hanya bisa mengotak-atik komponen yang rusak. Hasilnya sudah tentu tidak maksimal untuk dapat dioperasikan dan digunakan.
Fokker F-27 "Paratrooper" merupakan salah satu pesawat angkut sedang yang dimiliki Indonesia selain pesawat angkut CN-232 versi militer yang diproduksi PT IPTN (saat itu). Fokker sendiri telah tutup pabriknya di Belanda karena terbelit masalah finansial yang parah. Dalam melakukan perawatan pesawat terbang militer, TNI-AU memiliki beberapa skuadron teknik yang bertanggung jawab dalam hal ini. Untuk suku cadang "Paratrooper" yang versi sipilnya dinamai "Fellowship", para operator masih cukup mudah untuk mendapatkannya di pasaran internasiona
Pesawat Fokker 27-30 TNI AU yang jatuh merupakan produksi negeri Belanda, 26 September 1976. Usianya hampir 33 tahun. Memang, pesawat Angkatan Udara itu masih laik terbang dalam usia 25-40 tahun, tapi usia 33 tahun bukan muda lagi. Dalam sejarah penerbangan Indonesia, kecelakaan pesawat Fokker sedikitnya terjadi dua kali yakni 6 Maret 1979 dan 11 Juli 1979. Pesawat milik Garuda Indonesia itu berjenis Fokker 28. Namun yang tak kalah penting, maskapai penerbangan harus bisa mengambil hikmah dari kecelakaan pesawat itu. Apalagi perusahaan penerbangan selalu membawa penumpang dalam jumlah besar. Kelaikan terbang dan kesiapan kru menjadi tuntutan pengguna jasa penerbangan. Hal ini tentunya menjadi tuntutan bagi faktor keselamatan para penumpang dan kru pesawat yang menggunakan pesawat ini.
Dengan kejadian Tim investigasi bergerak cepat menyelidiki jatuhnya pesawat Fokker 27 TNI-AU. Sehari setelah insiden, tim di bawah koordinasi Dinas Keselamatan Penerbangan dan Kerja (Dislambangja) TNI-AU tersebut langsung melakukan operasi tertutup. Karena kecelakaan terjadi pada armada TNI dan dalam operasi resmi militer, personel sipil tidak dilibatkan. Dalam catatan skuadron 2, pesawat Fokker A-2703 yang jatuh dalam kondisi prima. Sebelum melakukan misi dropping penerjun tempur, pesawat itu juga baru saja mengangkut logistik ke Denpasar, Bali.

Faktor Penyebab kecelakaan
Hasil dari penyelidikan Tim Investigasi TNI AU belum dipublikasikan, namun diperkirakan awal pendaratan yang gagal disebabkan oleh faktor cuaca, yakni datangnya angin dari arah samping yang berkecepatan sampai tinggi sehingga mengubah arah pesawat. Namun hasil yang sebenarnya masih menunggu penyelidikan yang komprehensif.
Berdasarkan data yang ada, dalam sejarah penerbangan Tanah Air, musibah penerbangan di Indonesia lebih banyak berhubungan dengan faktor penyebab cuaca buruk seperti hujan deras, angin kencang dan kabut tebal. Faktor cuaca ini lebih banyak menimpa pesawat terbang bermesin propeler daripada jet. Kejadian kecelakaan penerbangan semacam ini lebih sering terjadi pada rute perintis dengan medan pegunungan.
Sebaliknya, pesawat jet yang berbadan lebar yang dilengkapi peralatan canggih dengan mesin dan sistem dalam pesawat terbang sangat mutakhir didukung oleh sistem maintenance pesawat terbang yang baik, dengan bandara yang dituju atau yang ditinggal serba lengkap fasilitasnya, terbang tinggi di atas 30.000 kaki yang hampir terbebas dari cuaca buruk. Penerbangnya pun sangat berpengalaman dan sudah lulus dari berbagai seleksi, serta mental dan pikirannya hampir tidak dibebani oleh permasalahan yang kompleks dari perusahaan, penjadwalan jam terbang yang teratur dan sesuai dengan peraturan organisasi penerbangan sipil internasional. Faktor penyebab kecelakaan penerbangan, menurut Dr. Raman R. Saman, seorang dokter penerbang senior, yaitu: manusia yang terdiri atas pilot itu sendiri atau personel lain, mesin pesawat termasuk bahan bakar pesawat, media yang berupa cuaca di sepanjang rute penerbangan, metode yang berupa peraturan dan kebijakan penerbangan, misi tujuan penerbangan, manajemen personal (termasuk maintenance dalam operasi penerbangan) dan moneter dari perusahaan penerbangan.
Biasanya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh tim investigasi kecelakaan penerbangan hanya dibahas faktor penyebab pokok yang terdiri atas faktor manusia, mesin dan media karena ketiganya ini merupakan penyebab utama, sedangkan faktor-faktor yang lain hanyalah sekadar pendukung saja. Oleh sebab itu, kita tidak boleh tergesa-gesa membuat keputusan bahwa pada setiap
kecelakaan pesawat penyebab kecelakaan adalah pilot sebagai penerbangnya.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan International Civil Aviation Or-ganization (ICAO), mengungkapkan bahwa 80-90 persen kecelakaan pesawat merupa-kan kontribusi kesalahan ma-nusia (human error). Tapi dari human error itu paling banyak adalah kesalahan awak pesawat, (Dr Yaddy Supriyadi, Sh,MM,SsiT) 65 persen human error adalah kesalahan awak pesawat (flight crew error).
Sementara penelitian yang dilakukan perusahaan Boeing terhadap faktor penyebab kecelakaan pesawat antara tahun 1980-1999 menunjukkan bahwa kesalahan awak pesawat mencapai 72,5 persen. Kesalahan akibat pesawat itu sendiri sebesar 10,8 persen, perawatan 2,5 persen, cuaca 5 persen, badan udara atau Air Traffic Control (ATC) 5 persen dan lain-lain 4,2 persen.
Kontribusi lainnya adalah faktor pemeliharaan/perawatan pesawat, cuaca, ATC dan lain-lain. Diungkapkan pula bahwa 49 persen kecelakaan terjadi pada saat menjelang dan waktu pendaratan. Kesalahan awak pesawat pada kecelakaan ini mencapai 80 persen. Yaddy memaparkan, perusahaan Boeing juga memprediksikan bahwa pada ta-hun 2005an angka kecelakaan pesawat akan cenderung naik 20 kali bila dibandingkan dengan rata-rata kecelakaan pesawat yakni 15 kali per tahun pada dekade tahun 1980an.
Ia menyebut selama ini kecelakaan pesawat diturunkan dengan pendekatan teknologi dan regulasi, di mana teknologi makin canggih dan regulasinya makin kuat, kecelakaan pesawat berkurang. Namun setelah teknologi dan regulasi bagus, belakangan kecelakaan pesawat makin sering terjadi. Berarti metode pendekatan teknologi dan regulasi ini hanya sampai tahun 1980an. Sebab ternyata perlu juga pendekatan human factor yakni interaksi manusia dengan pe-ralatan, prosedur dan sebagainya.

Anggaran Pertahanan
Minimnya anggaran pertahanan Indonesia sudah sejak lama menjadi pengamatan sekaligus bahan pertimbangan para pengambil kebijakan strategis banyak negara di dunia yang berkepentingan terhadap Indonesia dan kawasan. Dan kali ini, secara sangat eksplisit, justru tetangga kita sendiri yang bersedia mengingatkan akan kelemahan kita yang satu ini. Harus kita akui bahwa kita telah mengebiri anggaran pertahanan atas nama pembangunan di sektor lainnya, misalnya saja, dalam APBN 2009, sebut saja sektor pendidikan yang menjadi sektor yang paling diprioritaskan. Dengan dalih bahwa tidak akan ada ancaman perang terbuka dalam 10 tahun ke depan, dengan dalih bahwa inilah saatnya bergiat membangun, kita telah dengan sengaja me-nomorsekian-kan kekuatan pertahanan. Pada hakikatnya, penetapan skala prioritas itu memang perlu agar pembangunan nasional yang kita selenggarakan ini terfokus. Akan tetapi, jangan sampai skala prioritas ini tega mengorbankan sektor sepenting pertahanan. Mengabaikan signifikansi & nilai strategis sebuah kekuatan pertahanan sama saja artinya mengabaikan pentingnya harga diri & wibawa bangsa di mata dunia.
Ironisnya, juga merupakan fakta bahwa, anggaran pertahanan kita yang sudah terbatas dan tidak memenuhi kebutuhan minimum itu pun masih terus dipangkas lagi apabila ada permintaan dari para pembuat kebijakan demi prioritas pembangunan sektor lain. Jadi, anggaran pertahanan kita menjadi semacam deposit bagi sektor lain yang lebih dipentingkan atas dasar kebijakan politis.
Pada tahun anggaran 2009, pemerintah mengalokasikan dana Rp 35,03 triliun atau turun sekitar Rp 1,29 triliun dibanding tahun anggaran 2008 yang mencapai Rp 36,32 triliun, bagi sektor pertahanan dan TNI. Dari anggaran senilai Rp 35,03 triliun itu, TNI-AU mendapatkan sekitar Rp 3,4 triliun atau lebih kecil dibanding 2008 sekitar Rp 3,9 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, anggaran alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI memang masih minim. Namun, alokasinya akan bergantung pada postur APBN secara keseluruhan. Anggaran TNI juga telah dibahas di tingkat pemerintah dengan persetujuan DPR. Dengan Anggaran pertahanan 2009 yang sekitar Rp 35 triliun, hal ini dirasa masing sangat kurang. Dalam rapat dengar pendapat tahun lalu, Komisi I DPR pernah mengungkapkan anggaran pertahanan yang ideal adalah Rp 100 triliun. Selain itu juga masalah alokasi anggaran, Depkeu dan Bappenas berusaha memperbaiki mekanisme pengadaan barang terutama alutsista bagi Dephan. Masih banyak belanja alutsista yang sampai kini belum terealisasi. Bahkan, ada yang masuk blue book (rencana pengadaan) 2005 yang belum terealisasi, menurut Menkeu ditambahkan. Selain kecepatan dalam realisasi alutsista, pembiayaan alutsista juga akan dibenahi. Selama ini banyak alutsista yang dibiayai dengan kredit ekspor.
Sementara itu, kenyataan bahwa Ancaman nyata termasuk juga skenario kecenderungan ke depan akan melahirkan tantangan baru bagi Indonesia. Disintegrasi tampaknya akan terus menjadi perhatian sebagai akibat dari kompleksitas masalah ekonomi dan politik yang berimplikasi pada hubungan antara pusat dan daerah. Sebagai negara kepulauan Indonesia akan terus dihadapkan pada beberapa tantangan saat ini dan ke depan. Perkembangan teknologi bidang pertahanan/militer khususnya bagi TNI AU tidak hanya memberi kekuatan yang lebih besar, melainkan yang paling penting adalah mengubah cara berperang dan bertahan yang berarti pula membentuk strategi pertahanan matra udara. Negara-negara dengan teknologi tinggi cenderung mengembangkan kekuatan yang mobile dengan man power yang lebih efisien. Postur pertahanan udara juga menjadi lebih ramping dan berorientasi penangkalan ke luar. Strategi pertahanan udara mereka cenderung bersifat denial dan preventif dengan memukul kekuatan musuh potensial di luar wilayah. Oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan teknologi, banyak negara mengubah strategi pertahanan udara mereka ke arah capability-based atau scenario-based defence strategy. Pendekatan ini memberi keleluasaan dan mampu menghadapi masa depan. Strategi pertahanan udara yang hanya didasarkan pada ancaman saat ini akan selalu ketinggalan dan tidak cukup waktu untuk melakukan perubahan atau penyesuaian tanpa resiko tinggi.
Dalam kaitannya dengan anggaran pertahanan yang minim, kita mesti berkaca kepada negara-negara tetangga. Mereka juga berada di kawasan yang sama dengan kita, mereka berada di lingkungan strategis (lingstra) yang sama dengan kita, suatu lingstra regional yang relatif damai dengan potensi ancaman perang yang sangat minim, namun lihat apa yang mereka lakukan, dan lihat betapa besar anggaran pertahanan mereka.
Berkaca kepada Singapura, sebuah negara dengan jumlah penduduk kurang dari separonya penduduk DKI Jakarta, namun memiliki anggaran pertahanan mencapai 3-4 kali lipat anggaran pertahanan negara Indonesia secara keseluruhan. Singapura setiap tahun menetapkan porsi anggaran pertahanannya pada kisaran 30% anggaran negaranya, dan ini menjadi porsi terbesar sekaligus prioritas utama dalam anggaran negara Singapura dibanding sektor apapun lainnya. Besaran ini sekaligus setara dengan 5% PDB Singapura. Bahkan dalam anggaran terbarunya, mereka mencanangkan porsi 6% dari PDB untuk anggaran pertahanan tahun 2009.
Di sisi lain, Malaysia, sebuah negara dengan jumlah penduduk kurang dari jumlah penduduk Jawa Tengah, namun memiliki anggaran pertahanan 2,5 kali lipat anggaran pertahanan negara kita. Malaysia menetapkan porsi anggaran pertahanannya pada kisaran 2-3% dari PDBnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, dengan penduduk terbanyak di Asia Tenggara, dengan wilayah kedaulatan terluas di Asia Tenggara, dengan sumber kekayaan alam terbesar di Asia Tenggara, atau dengan kata lain, Indonesia sebagai negara yang memiliki tanggung jawab pertahanan terbesar terhadap rakyat dan wilayah kedaulatan serta kekayaan alamnya di kawasan ini, hanya memporsikan anggaran pertahanan sebesar 1 s/d 1,4% dari PDBnya. Agar kita tidak terjebak dengan selisih secara prosentase yang sekilas terlihat tidak signifikan ini, perlu kita pahami bahwa selisih 1-2% saja dalam suatu anggaran pertahanan berimplikasi sangat besar, karena 2% PDB tentunya adalah 2 kali lipat dari 1% PDB.
Secara angka, pada tahun 2008 misalnya, pengeluaran pertahanan kita hanya setara US$ 4,7 milyar. Sedangkan Singapura pada tahun 2007 saja menghabiskan US$ 7,1 milyar. Singapura jelas berpenduduk jauh lebih kecil dengan luas wilayah juga jauh lebih kecil daripada Indonesia, namun anggaran pertahanan mereka jauh lebih besar daripada anggaran pertahanan Indonesia. Bukankah ini suatu keanehan?
Kemungkinannya hanya ada dua, yakni: kita yang terlalu meminimalisir anggaran pertahanan, atau, negara tetangga kita itu yang terlalu memperbesar anggaran pertahanan? Sebagai komparasi, NATO menyarankan kepada masing-masing negara anggotanya untuk menganggarkan minimum 2% dari PDB untuk anggaran pertahanan. Angka 2% ini menjadi semacam syarat bagi terselenggaranya suatu sistem pertahanan minimum.
Mengenai minimnya anggaran pertahanan Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, mungkin akan ada yang berkilah, "Ah, itu karena PDB kita memang kecil, apa boleh buat?" Apakah PDB kita memang kecil? Bahkan sebaliknya, PDB kita adalah terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2007, PDB kita bahkan menempati urutan ke-20 terbesar di dunia dari 180 negara yang terdata, dengan angka US$ 433 milyar. Bandingkan dengan Malaysia & Singapura yang pada tahun yang sama PDBnya masing-masing berkisar pada angka US$ 181 milyar dan US$ 161 milyar. Artinya, PDB Indonesia adalah 2,4 kali lipat PDB Malaysia dan 2,7 kali lipat PDB Singapura, akan tetapi anehnya, anggaran pertahanan Indonesia lebih kecil dari kedua-duanya.
Jadi, kendala anggaran pertahanan kita ini bukan dikarenakan keuangan negara sedang seret, melainkan karena ketiadaan minat dari para pemegang kebijakan di negeri ini terhadap suatu postur kekuatan pertahanan yang kuat.

Si Vis Pacem Para Bellum
( Siapa ingin damai, bersiap-siaplah sewaktu-waktu untuk terjun dalam perang).Lebih jauh lagi, anggaran pertahanan janganlah semata-mata dikaitkan dengan potensi ancaman perang saja. Harus disadari bahwa anggaran pertahanan memiliki value yang sungguh strategis, baik di masa damai maupun perang. Harus dimiliki sebuah kearifan bersama oleh segenap komponen bangsa, bahwa postur pertahanan yang kuat itu tidak hanya diperlukan di masa perang. Salah besar kalau kita beranggapan bahwa postur TNI yang tangguh dan disegani yang dicita-citakan itu hanya berguna di masa darurat perang. Harus kita pahami bahwa kekuatan pertahanan akan berimplikasi langsung kepada nilai tawar dan kedudukan diplomatik negara di percaturan politik global. Negara yang kuat pasti akan disegani. Negara yang lemah pasti dilecehkan. Mau tidak mau, "hukum rimba" di percaturan politik internasional ini harus kita antisipasi secara cerdas dan terus-menerus, terlepas dari apakah lingstra kita sedang bersuhu "dingin" maupun "panas". Bahkan, dapat dikatakan sangat terlambat apabila kita baru memperkuat pertahanan setelah lingstra regional kita “panas”, karena dalam keadaan seperti itu, sebagaimana yang telah terjadi pada Iraq misalnya, negara musuh akan memberlakukan berbagai macam embargo & blokade untuk melemahkan kita sebelum serangan itu dibuka.
Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat, selagi lingstra regional masih kondusif, perkuatlah kekuatan pertahanan. Bila kita tetap ingin diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, maka kita harus berlaku sebagai bangsa yang besar.
Negara dengan kekuatan pertahanan yang mumpuni pasti akan didengar suaranya dan diperhitungkan kepentingannya. Tidak akan ada negara yang berani mengganggu gugat kedaulatan kita, tidak akan ada negara yang berani menerbangkan pesawat tempurnya dengan angkuh dan semena-mena di wilayah kedaulatan kita, tidak akan ada negara yang berani menggeser-geser patok batas wilayah kita, seandainya Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang tangguh. Negara yang kuat otomatis memiliki daya tangkal terhadap segala macam ancaman, tantangan, halangan maupun gangguan, baik dari dalam maupun luar negeri. Daya tangkal ini, secara sadar maupun tidak sadar, suka atau tidak suka, dibutuhkan secara mutlak dan tak tergantikan bagi terselenggaranya pembangunan yang benar-benar ditujukan bagi kepentingan nasional.
Tanpa adanya daya tangkal ini, penyelenggaraan negara sangat rentan terhadap infiltrasi kepentingan asing. Lihatlah Timtim yang sudah lepas, lihatlah Sipadan & Ligitan yang sudah jatuh ke tangan Malaysia, semua itu terjadi karena kita tidak "bertaring" di meja perundingan internasional. Tidak ada yang takut dan segan dengan kita. Lalu lihatlah sekarang Ambalat yang terancam, lihat pula wilayah udara kita di Kepulauan Riau dan sekitarnya yang tetap di bawah kontrol FIR Singapura terlepas dari usaha & keinginan kita agar wilayah udara itu diserahkan kembali ke FIR kita, lihat pula MTA-1 & MTA-2 yang dikuasai secara eksklusif oleh Singapura, lihat pula ancaman separatisme yang kerap ditunggangi kepentingan asing di Aceh, Papua maupun daerah lainnya. Kesemua ini adalah karena absennya national pride & dignity, harga diri & kewibawaan suatu bangsa, yang seharusnya ditopang dengan kekuatan pertahanan yang memadai. Si vis pacem para bellum, siapa yang ingin damai, harus memiliki kesiapan berperang.
"Kesiapan berperang" ini jangan dimaknai secara sempit sebagai keinginan untuk berperang. Justru kesiapan berperang inilah yang menjadi daya tangkal bagi setiap pihak di dalam maupun luar negeri yang berniat menggoyang kedaulatan bangsa agar mengurungkan niatnya. Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa apabila kita memiliki kesiapan perang yang tangguh, maka sudah pasti kandidat lawan akan membatalkan setiap niatnya untuk mengancam maupun mengganggu kedaulatan kita.
Agar dapat menangkal lebih dini, perlu ditempatkan radar-radar sebagai kekuatan pertahanan udara yang dilengkapi peluru kendali. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah penangkalan dan memberi dampak moral atas kekutan tersebut. Adapun penyebaran radar beserta rudal ditempatkan di kota yang diperkirakan menjadi celah bagi masuknya ancaman dari luar, misalnya sebagai berikut : Natuna, Aceh, Padang, Jakarta, Madiun, Tarakan, Kendari, Morotai, Kupang, Tanimbar, Biak, dan Merauke. Untuk kemampuan dan jenis radar atau rudal disesuaikan dengan medan serta peruntukannya.
Dalam situasi pada masa ini, pilihan-pilihan strategi pertahanan udara yang ditopang oleh kemampuan-kemampuan spesifik sebenarnya telah tampak jelas. Tetapi sampai saat ini hal itu seolah masih terabaikan. Sehingga kekuatan mendasar pertahanan udara yang memenuhi syarat mobilitas tinggi dan mampu melakukan kontrol wilayah yang luas tidak dikembangkan dengan baik. Ini tidak hanya kesalahan yang terjadi di kalangan elit dan suprastruktur melainkan juga pada infrastruktur dan masyarakat secara luas.
Pemahaman tentang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbuka yang seharusnya diikuti dengan penyiapan kemampuan dan keahlian bidang kelautan dan kekuatan udara juga sangat lemah. Jika semua ini membentuk apa yang disebut sebagai strategic and military culture yang sulit diubah, maka Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan makin jauh tertinggal dalam persaingan-persaingan strategis di kawasan. Untuk mewujudkan strategi pertahanan udara dengan penyebaran pangkalan, radar dan rudal, perlu sinergi dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang didorong semangat nasionalisme.
Sebagai bagian integral dari TNI, TNI AU yang merupakan komponen utama alat pertahanan negara di udara berperan dalam melaksanakan tugas menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa sesuai fungsinya dari setiap ancaman yang datang dari luar negeri maupun dalam negeri. Dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara dan menegakkan hukum di udara, TNI Angkatan Udara harus memiliki kemampuan dalam mendayagunakan seluruh potensi kekuatan udara secara maksimal baik pada masa perang maupun masa damai. Sebagai kekuatan pertahanan negara yang memanfaatkan media udara secara luas dan menjadikannya sebagai potensi kekuatan udara, TNI Angkatan Udara sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan. Dengan semakin canggihnya teknologi alat utama sistem senjata udara yang berkembang saat ini menyebabkan kebutuhan akan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan dalam mendukung tugas TNI Angkatan Udara tidak dapat terelakkan lagi. Namun, kenyataannya tidaklah dapat dipungkiri, dengan serba keterbatasan yang ada, yang dimiliki Bangsa Indonesia dengan Departemen Pertahanan selaku induk dari Organisasi TNI khususnya terhadap TNI AU, maka keterbatasan yang ada mengenai persoalan anggaran pertahanan dan alokasinya bagi TNI AU merupakan suatu hal yang telah klasik dan sulit dicapai jalan keluarnya. Keadaan ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap upaya dalam pengoptimalisasian peran TNI AU dalam memberikan sumbangsihnya bagi pertahanan matra udara Negara Indonesia yang tercinta ini.
Kondisi demikian bila terus dibiarkan akan membawa dampak kepada kurang optimalnya kesiapan dan kemampuan TNI AU dalam menjaga NKRI selaku pelaksana pertahanan matra udaranya. Sehingga ke depan diperlukan adanya perubahan yang sangat signifikan khususnya peran dan perhatian pemerintah dalam memberikan alokasi anggara yang ideal dan memadai dalam mewujudkan pertahanan udara yang tangguh dan handal, guna membentuk sebuah kekuatan modern bagi upaya menjaga kedaulatan NKRI ini

Bandung, 27 April 2009

Referensi :
1) The International Institute for Strategic Studies: Military Balance 2002-2003, London, 2002.
2) ADPR Consult (M) Sdn Bhd: IndoAerospace & Defence 2008 Supplement, Malaysia, 2008.
3) www.mediaindonesia.com: “Anggaran Pendidikan Capai 20%”, Jakarta, 16 Agustus 2008.
4) www.straitstimes.com: “S'pore defence budget up 6%”, Singapura, 22 Januari 2009.
5) http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_GDP_(nominal)
6) Artikel di di www.tandef.com Oleh: Khairil Azmi, B.Eng., M.IScT., Direktur Eksekutif TANDEF
7)Koran PR, Kompas,harian lokl, tgl 6 April 2009.