Rabu, 27 Mei 2009

Myanmar di antara Asean dan Internasional


Myanmar di antara Asean dan Internasional
Oleh: Sapuan,S.Sos


Myanmar (asalnya Burma) adalah sebuah Negara di Asia tenggara, dengan luas wilayahnya 678.500 km², merdeka pada tanggal 4 Januari 1948 dari penjajahan Inggris. Saat ini Myanmar diperintah oleh pemerintahan militer (Junta Militer) sejak kudeta yang berlangsung pada tahun 1988. Negara ini merupakan sebuah Negara berkembang dan memiliki jumlah penduduk lebih dari 51 juta jiwa. Ibukota Negaranya adalah Naypidaw setelah sebelumnya dipindahlan oleh Junta Militer dari Yagoon pada tanggal 7 November 2005. Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh. Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer yang berkuasa.
Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan Junta Militer pada tanggal 18 Juni 1989. Junta militer merubah nama Burma menjadi Myanmar agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari negara tersebut . Walaupun begitu, perubahan nama ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh dunia internasional. Beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Irlandia yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan "Burma" untuk merujuk kepada negara tersebut. PBB, yang mengakui hak negara untuk menentukan nama negaranya, menggunakan Myanmar, begitu pula dengan Perancis dan Jerman. Di Jerman, kementerian luar negeri menggunakan Myanmar, tetapi hampir seluruh media Jerman menggunakan Burma. Pemerintah AS, yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan Burma tetapi mayoritas media besar yang ada di AS menggunakan Myanmar.
Meski terkenal akan pelanggaran HAM, Myanmar justru memiliki sejarah protes massa yang panjang. Ketika Indonesia bungkam dengan gerakan bawah tanah di era Soeharto, gelombang protes Myanmar justru menguat sejak dimulainya masa pemerintahan militer Jenderal Ne Win. Tahun 1988, gelombang protes massa Myanmar ini melibatkan pelajar, pejabat sipil, pekerja hingga para biksu Budha. Protes hadir saat Ne Win menggunakan tentara bersenjata demi kudeta militer. Sejak awal massa Myanmar memang telah menginginkan berakhirnya junta militer ini. The State Peace and Development Council's (SPDC's) Myanmar mengajukan tuntutan yang populer untuk mereformasi pemerintahan menjadi neo-liberal. Tuntutan reformasi ini terutama berlaku untuk ekonomi, termasuk saat bulan lalu pemerintah Myanmar menarik subsidi BBM.
Protes massa Myanmar memang tak segaduh Amerika yang liberal. Dimana-mana rezim militer masih memegang kendali sosial. Asia Times mencatat, gerakan protes umumnya mulai dalam jumlah kecil dan tersebar. Beberapa bulan terkahir ini misalnya, protes kecil dan damai terus berkelanjutan di ibukota Yangon. Namun kemarahan publik ini bisa berubah menjadi efek bola salju dan menjadi gerakan massa besar-besaran. Salah satunya yang terjadi di Pakkoku. Setelah bola salju ini pecah, maka perlahan akan kembali menggumpal. Beberapa hari setelah kejadian Pakkoku, 500 biksu kembali berbaris damai di Yangon, Myanmar. Layaknya biksu, New York Times mencatat gerakan ini malah berdoa untuk kedamaian dan keselamatan setelah peristiwa Pakkoku. Gerakan dalam protes bukan hanya terjadi dari satu pihak saja. Pemerintah Myanmar juga menyikapinya dengan Union Solidarity and Development Association (USDA). USDA tercatat kerap bergabung dalam gelombang protes ini. Organisasi propemerintah ini tercatat bahkan ikut terlibat dalam upaya pembunuhan Suu Kyi di tahun 2003. Meski gagal, aksi tersebut memakan korban simpatisan National League for Democracy (NLD) sebagai gantinya.
USDA berfungsi menyaingi kelompok pelajar dan biksu Bhuda yang vokal dalam aksi protes. Apalagi secara khusus aktivis Myanmar telah memiliki organisasi protes massanya sendiri. Organisasi 88 Generation Student ini didirikan oleh penyair internasional asal Myanmar Ming Ko Naing dan Ko Ko Gyi. Keduanya mendirikan organisasi ini setelah dibebaskan dari 14 tahun penjara, dan cukup populer di mata masyarakat Myanmar. Meski berlabel pelajar, Generation 88 kerap bekerjasama dengan para pekerja, sipil hingga para biksu Buddha.
Aung San bapak dari Aung San Suu Kyi bersama U Nu adalah tokoh utama di balik kemerdekaan dan menjadi pemimpin negara. Akan tetapi, pada tahun 1962, militer yang didominasi etnis Burma mengambil alih kekuasaan negara. Ne Win adalah otak di balik kudeta itu. Cikal bakal junta militer sekarang (disebut sebagai Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan / SPDC) berasal dari kekuasaan Ne Win itu. SPDC sendiri didominasi oleh etnis Burma. Konfigurasi kekuasaan hak pun menjadi tidak berimbang antara etnis Burma yang mendominasi dan etnis non-Burma yang merasa ditindas. Sehingga muncullah perlawanan dari beberapa etnis non-Burma, termasuk etnis Karen, yang mendominasi wilayah pegunungan di utara, yang dikenal sebagai golden triangle (segitiga emas).
Burma memilih cara apa pun untuk mencegah hal itu terjadi. Sejak 1960-an, terjadilah diaspora warga Myanmar. Berbagai warga Myanmar dari kelompok etnis kini tinggal di Thailand, Bangladesh, Cina, Laos, dan India. Semua negara ini berbatasan langsung dengan Myanmar. Kemenangan kubu demonstrasi, pimpinan Aung San Suu Kyi pada Pemilu tahun 1990, tak dikehendaki oleh kelompok etnis Burma. Kubu Suu Kyi dan dan etnis non-Burma lainnya merupakan ancaman bagi supremasi etnis Burma. Kemenangan Suu Kyi pun dihadang. Kekuasaan direbut. Beginilah yang terjadi seterusnya dan seterusnya.
Dalam situasi ketidak pastian, Negara menjadi semrawut dan tidak menentu akhirnya situasi ekonomi riil Myanmar masih menghadapi soal berat di bidang ekonomi. Berbagai berita lokal yang memperlihatkan pembangunan gencar di seluruh pelosok Myanmar belum bisa menyelesaikan soal standar hidup yang makin menurun. Bagi kalangan tertentu, terutama mereka yang dekat dengan militer dan mendapat gaji dollar AS, Myanmar memang surga. Segala kemudahan terbentang luas. Sebaliknya, dari pengamatan di jalan menuju Bagu, misalnya, kemiskinan dan kesulitan rakyat pinggiran sangat terasa. Sawah yang membentang luas (Myanmar terkenal sebagai gudang padi) bahkan sekarang harus berjuang keras untuk memberi makan rakyat. Indikator ekonomi resmi pemerintah tidak selamanya bisa mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi. Dengan GNP per kapita sekitar 220 dollar AS, Myanmar tergolong negara miskin. Lebih dari itu, pendapatan negara masih bergantung pada pertanian dengan angka 38,3 persen. Seperti dikutip dalam Myanmar Business & Economic Review (1994), pemasukan dari manufaktur baru 9,2 persen. Walaupun demikian industri batu permata, turisme, dan pertanian masih belum tergali maksimal. Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar masuk pasar Myanmar, tetapi saat ini pengusaha Singapura melangkah lebih agresif. Selain potensi alam, semangat nasionalisme di Myanmar juga merupakan potensi besar bagi pengembangan sumber daya manusia. Kesulitan-kesulitan ekonomi ini juga menimbulkan berbagai persoalan bagi Myanmar untuk bergabung dengan ASEAN. Dari segi ekonomi, penggabungan itu memerlukan perbaikan sistem perekonomian dan dukungan keuangan internasional. Celakanya, dunia internasional akan mendukung secara finansial bila ada perbaikan hak asasi manusia dan demokratisasi, termasuk pembebasan tahanan politik. Oleh sebab itulah, kemajuan ekonomi sangat bergantung pada rekonsiliasi politik. Lebih baik lagi jika pemilu yang demokratis sudah berlangsung, walaupun mungkin sekali akan dimenangkan oleh kelompok politik pro rezim militer.
Ketertutupan Myamar dari dunia luar, mengakibatkan keterpurukan ekonomi negaranya. Bagi Myanmar, Cina dan India jauh lebih penting dibandingkan ASEAN. Dua negara tersebut menjadi mitra dagang penting bagi Myanmar dan selama ini juga cenderung memberi proteksi atas berbagai tekanan dunia internasioal terhadap masalah pelanggaran hak asasi manusia. Desakan terhadap ASEAN untuk mengambil tindakan terhadap Myanmar terus mengemuka. saat ini kredibilitas dan reputasi ASEAN praktis jalan di tempat karena pendekatan lunak mereka terhadap Myanmar. Kontras dengan desakan banyak negara-negara Barat, negara-negara ASEAN diperkirakan tidak akan mengeluarkan sikap tegas terhadap junta Myanmar. Apalagi berdasarkan doktrin konsensus ASEAN, tidak ada rencana yang bisa diputuskan atau dijalankan tanpa persetujuan dari Myanmar sendiri. Selama ini AS dan Uni Eropa (UE) mendesak ASEAN menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar karena menolak membebaskan tahanan politik dan tidak serius menegakkan demokrasi. Namun, Sekjen ASEAN, Ong Keng Yong, dengan tegas mengatakan konfrontasi bukanlah sebuah jawaban atas Myanmar. Salah satu cara untuk merangkul junta militer, adalah terus melangkah maju.
Memanasnya suasana di Myanmar menimbulkan pembicaraan hangat di belahan Negara dunia, termasuk ASEAN sendiri. Hal ini terlihat saat tahun 2005 Myanmar diisukan akan memimpin ASEAN untuk periode 2006, menuai respon penolakan dari para pelaku politik. Parlemen Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia telah memberikan rekomendasi kepada masing-masing eksekutifnya untuk menolak kepemimpinan Myanmar. Namun, Sekjen ASEAN, Ong Keng Yeong bersuara lain. Menurutnya kepemimpinan Myanmar justru akan mengubah sikap junta militer untuk lebih demokratis. Ini disebabkan perhatian internasional akan terpusat ke Myanmar dan dengan sendirinya akan menekan junta militer untuk mengubah perilakunya yang tidak demokratis.
Sejak Myanmar bergabung ke ASEAN, negara itu terus menjadi batu kerikil bagi kemajuan perhimpunan ini. Sebabnya, kondisi Myanmar yang tidak demokratis dan sarat pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Junta militer berkuasa setelah mengambil alih kekuasaan pasca-kemenangan gerakan demokratik pimpinan Aung San Su Kyii tahun 1990. ASEAN kemudian disudutkan oleh negara-negara Barat pada saat menerima Myanmar tahun 1997. Bagi negara-negara Barat, menerima Myanmar berarti melegitimasi junta militer dan perilaku otoriternya. Sedangkan bagi ASEAN bergabungnya Myanmar merupakan bagian dari impian para founding fathers untuk menyatukan semua negara Asia Tenggara. Mengenai kondisi domestik ASEAN menganggap bahwa itu bisa diselesaikan dengan cara pelibatan konstruktif (constructive engagement). Pelibatan konstruktif adalah sebuah cara untuk mengubah Myanmar dengan cara melibatkannya dalam pergaulan di Asia Tenggara daripada mengisolasinya. Dengan interaksi aktif dan positif dari negara-negara ASEAN diharapkan Myanmar akan makin membuka diri, terutama dalam kehidupan politiknya. Kenyataannya, motivasi Myanmar berbeda dengan harapan ASEAN. Myanmar tidak menunjukkan ketertarikan untuk berubah. Yangoon bergabung dengan ASEAN untuk mendapatkan posisi tawar internasional yang lebih besar. Bagi Myanmar bergabung dengan ASEAN yang mempunyai image internasional kuat, akan memperbesar pengaruhnya. Nyatanya, keterlibatan Myanmar dalam ASEAN makin melegitimasi regim militer, karena setiap kerja sama ekonomi politik yang dibangun pasti bersama regim yang berkuasa. Motivasi lain dari Myanmar untuk bergabung dalam ASEAN adalah memperkuat kedaulatannya tanpa takut intervensi dari negara-negara tetangga. Prinsip tidak mencampuri urusan domestik negara lain yang dianut ASEAN memberikan jaminan tersendiri. Prinsip ini dipegang erat, karena dianggap berhasil mencegah konflik antar sesama anggota selama tiga dasawarsa.
Perbedaan motivasi antara ASEAN dan Myanmar telah mengakibatkan metode pelibatan konstruktif yang dilakukan ASEAN menjadi lumpuh. Setelah delapan tahun bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN, Amnesti Internasional bahkan mencatat pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar tidak berkurang. Tahun 2003 bahkan Junta militer Myanmar kembali melakukan gerakan militer besar-besaran memberangus gerakan demokrasi di Myanmar. Peristiwa Black Friday (30 May 2003) merupakan kemunduran bagi proses demokrasi Myanmar.
Tokoh penerima Nobel, Aung San Su Kyii kembali di penjara dan sejumlah aktivis demokrasi ditangkap hingga sekarang. Oleh karena itu pemerintah Indonesia memberikan sikap keras untuk menolak Myanmar menjadi pemimpin ASEAN pada tahun 2006 lalu. Paling tidak ada tiga alasan kuat mengapa ini perlu dilakukan pemerintah Indonesia : Pertama, kredibilitas dan citra ASEAN akan dikorbankan apabila Myanmar tetap mengklaim haknya bergilir mengetuai ASEAN. Bagaimanapun perhimpunan ini sudah diakui dunia, bahkan dijuluki sebagai satu-satunya organisasi regional, di luar Uni Eropa, yang berhasil mengelola kawasannya menjadi wilayah yang stabil dan kondusif.
ASEAN juga mulai mendapatkan banyak respek setelah mulai bangkit dari keterpurukan ekonominya pasca-krisis ekonomi 1997. Pergantian kepemimpinan secara demokratis di sejumlah negara ASEAN seperti di Indonesia, Filipina dan Thailand dipuji oleh dunia internasional. Dunia menyambut baik munculnya para pemimpin moderat di Malaysia dan Singapura. Apakah ASEAN mau mengorbankan citranya yang baik ini hanya demi melindungi junta militer di Myanmar? Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Razali Ismail, pernah mengatakan merupakan ironi di saat demokrasi berkembang pesat di Asia Tenggara, ASEAN akan dipimpin oleh Myanmar yang otoriter.
Kedua, berkaitan dengan sikap Myanmar sendiri yang tidak kooperatif. Sejak bergabung tahun 1997, ASEAN terus membelanya dari kritik dunia. Ini karena ASEAN yakin sekali pelibatan konstruktif akan efektif membuka mata junta militer untuk berubah. Nyatanya, peristiwa Black Friday seakan menampar muka ASEAN. Peristiwa ini menunjukkan penguasa di Yangoon cenderung tidak mau berubah dan menulikan telinga termasuk kepada ASEAN. Bahkan tiga proposal dan mediasi yang diajukan ditolak mentah-mentah. Salah satunya pada saat Indonesia mengirimkan utusan khusus, Ali Alatas, untuk mengimbau dilepasnya Aung San Su Kyi. Agaknya sudah cukup banyak bukti yang menunjukkan hubungan ini tidak seimbang. Pada saat ASEAN banyak melakukan diplomasi untuk membelanya, di saat lain Yangoon terus menunjukkan pengabaian terhadap berbagai masukan. ASEAN terus berada dalam posisi dirugikan.
Ketiga, berhubungan dengan kesempatan yang hilang apabila Myanmar tetap memaksakan diri menjadi pemimpin ASEAN. Menlu AS, Condoleeza Rice, sudah menyatakan akan absen dalam pertemuan ASEAN di Vientiane karena menganggap tidak banyak perubahan di Myanmar. Uni Eropa bahkan menyatakan tidak akan mengikuti pertemuan ASEAN selama satu tahun kepemimpinan Myanmar. Langkah ini kemungkinan akan diikuti oleh negara-negara lain seperti Australia, Selandia Baru dan Kanada. Apabila ini terjadi, maka kerugian akan kesempatan yang hilang (terutama dalam bidang ekonomi) akan dirasakan seluruh anggota. Apabila terjadi, ini merupakan kemunduran akan eksistensi ASEAN di arena internasional, yang seolah-olah diisolasi akibat kekeliruannya. Jadi, layaklah ASEAN menolak kepemimpinan Myanmar, dan melepaskan diri dari situasi menjadi tawanan politiknya. ASEAN harus tegas menilai perilaku Myanmar yang bisa merugikan seluruh anggota. ASEAN juga mesti lebih berpihak kepada kepentingan-kepentingan ekonomi politiknya di masa depan ketimbang mempertahankan prinsip non-interference dan konsensus yang dewasa ini makin sulit dilaksanakan secara ketat.
Bandung, Pebruari 2009

Tidak ada komentar: