Rabu, 27 Mei 2009

Jatuhnya Pesawat Fokker 27 dan Permasalahan Alutsista TNI AU
Oleh : Sapuan, S.Sos

Dalam kurun waktu sembilan tahun sejak tahun 2000-2009, sekurang-kurangnya TNI telah kehilangan 26 pesawat terbang. Dengan demikian bangsa Indonesia akan sulit untuk mengatakan kebanggaan terhadap kehebatan Alutsista TNI ini. Karena nyatanya banyak pesawat TNI rontok dan jatuh ke bumi karena faktor usia yang sudah lama. Jatuhnya ke-26 pesawat milik TNI tersebut, membuktikan betapa perlunya memperbaiki kondisi Alutsista (alat utama sistem senjata) yang dimiliki TNI saat ini.
Pada pada penghujung tahun 2007, sebuah pesawat intai jenis Nomad P833 milik TNI AL terjun di perairan Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, 30 Desember 2007. Sepekan kemudian, di awal tahun 2008, giliran helikopter Twin Pack S-58, milik TNI AU yang jatuh di perkebunan sawit di Kabupaten Palelawan, Riau. Pebruari 2009, sebuah helicopter jatuh di perkebunan tebu di Subang dan hilangnya pesawat Casa 212 yang sedang melakukan ujicoba foto udara di wilayah Bogor. Empat kecelakaan pesawat yang memakan korban jiwa itu tentu membuat risau banyak kalangan. Tapi ada juga yang merasa mahfum dengan jatuhnya pesawat TNI tersebut. Sebab usia dua pesawat tersebut memang sudah tua.
Kejadian yang terakhir terjadi adalah jatuhnya Pesawat jenis Fokker A 27-30 TNI AU bernomor ekor F27/A2703. Pesawat ini dipiloti oleh Kapten Penerbang I Gede Agustirta Santosa dan co pilot Lettu Penerbang Yudo Pramono, yang kemudian menghantam hanggar Aircraft Services (ACS) PT Dirgantara Indonesia, Bandara Husein Sastranegara. Pesawat ini ditumpangi oleh 6 (enam) kru pesawat serta, 17 (tujuh belas) siswa Para Lanjut Tempur (PLT) A-33 Koprs Paskhas TNI AU yang tengah melakukan orientasi latihan penerjunan, dan satu orang personel instruktur Paskhas AU. Adapun latihan orientasi bagi siswa terjun nahas itu masih pada tahap pengakraban proses "exit" dari badan pesawat terbang, penegasan prosedur penerjunan di udara setelah proses latihan kering dilakukan, dan pengenalan cuaca di udara, dan hal-hal lain terkait masalah itu.

Instruksi Presiden
Berkaitan dengan kejadian tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan Panglima TNI Djoko Santoso segera melakukan investigasi terkait musibah jatuhnya pesawat milik TNI Angkatan Udara Fokker 27 di Lapangan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, Senin (6/4/2009).
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek) rencananya akan mengadakan audit teknologi terhadap pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara (AU), terutama yang sudah berumur di atas 20 tahun. Nantinya, hasil audit tersebut akan dijadikan rujukan atau rekomendasi mengenai kelayakan sebuah pesawat. Audit ini tentulah tak lepas dari peristiwa kecelakaan yang menimpa pesawat Fokker 27 dengan nomor A-2703 di Pangkalan Udara Hussein Sastranegara, Bandung, pekan lalu, dengan korban tewas 24 orang. Sebenarnya, keluhan mengenai banyak pesawat TNI AU yang sudah tua bukanlah hal baru dan dapat dicatat sudah begitu banyak kecelakaan menimpa pesawat-pesawat milik TNI yang sudah tua. Sebagian kalangan menyebut sebagian dari armada terbang milik TNI itu sebagai the flying coffins (peti mati terbang).Sebaiknya, audit oleh pihak TNI ditujukan bukan hanya khusus terhadap pesawat, tetapi juga terhadap prosedur kerja menara pengawas lalu lintas udara (ATC), bagian cuaca, dan lain-lain. Kemudian, faktor kecakapan para penerbangnya, termasuk metode dan kepatuhan terhadap prosedur penerbangan. Artinya, bisa saja bukan hanya faktor pesawat (machine) yang menyebabkan kecelakaan penerbangan, tetapi juga unsur-unsur lain, yakni man (awak pesawat), media (cuaca, dll), method (prosedur kerja, dll) sehingga pada akhirnya target untuk mencapai zero accident dapat terwujud. Yang paling ideal memang secara bertahap pesawat-pesawat yang sudah berumur di atas 30 tahun tidak diterbangkan lagi, juga satuan-satuan pendukungnya diremajakan. Karena seideal apa pun prosedur diterapkan, faktor usia pesawat juga satu hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Meski suatu overhaul sulit tercapai di tengah keterbatasan anggaran TNI yang sangat parah, namun merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan anggaran pertahanan tersebut. Tujuannya demi pengadaan alutsista yang lebih baik dan tidak mengancam keselamatan jiwa para penggunanya.


Dampak dari kecelakaan pesawat TNI AU.
Kecelakaan pesawat terbang TNI AU yang terjadi dalam lima tahun terahir semakin mengurangi kesiapan tempur TNI AU. Kondisi ini secara langsung memperlemah kemampuan TNI AU menjaga kedaulatan negara di udara. Alutsista udara yang dimiliki dari waktu ke waktu semakin menurun ditambah dengan kecelakaan terahir.
Saat ini TNI-AU mempunyai 228 pesawat. Namun, yang layak terbang hanya 94 pesawat. Rinciannya, 75 pesawat tempur dengan kesiapan 27 pesawat (36 persen), dan dari 51 pesawat angkut hanya 21 pesawat layak terbang (41,17 persen). Lalu, untuk pesawat latih, ada 53 pesawat dengan kesiapan 21 pesawat. Untuk helikopter, yang berjumlah 50 buah, yang siap hanya separonya. Kesiapan rata-rata seluruh pesawat hanya 41,69 persen.
Kondisi kesiapan pesawat tempur saat ini berada di bawah standart. Misalnya pesawat tempur jenis F-5 Tiger buatan 1978, dari 12 yang dimiliki TNI AU, hanya empat yang dinyatakan siap. Hal sama juga dialami pesawat tempur Hawk MK-53 buatan 1977. Dari delapan unit yang ada, hanya satu unit yang dinyatakan siap atau layak operasi. Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan tahun 1975, dari tujuh yang ada, hanya empat yang masih siap terbang.
Mabes TNI AU, berdasarkan rencana strategis (Renstra) 2005-2009 sudah mengajukan anggaran untuk melakukan penggantian sejumlah pesawat tempur, seperti OV-10 Bronco, F-5 Tiger, Hawk MK-53, termasuk pesawat angkut Fokker-27 dan Helikopter Sikorsky. Namun sampai sekarang ini rencana penggantian dari pesawat-pesawat itu belum juga terealisasi.
Kondisi pertahanan memang sangat memprihatinkan. Tapi Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya anggaran yang cukup untuk membeli suku cadang atau melakukan perbaikan. Persoalan anggaran/dana dianggap sebagai permasalahan dari kelayakan pesawat tempur milik TNI AU. Akhirnya para mekanik hanya bisa mengotak-atik komponen yang rusak. Hasilnya sudah tentu tidak maksimal untuk dapat dioperasikan dan digunakan.
Fokker F-27 "Paratrooper" merupakan salah satu pesawat angkut sedang yang dimiliki Indonesia selain pesawat angkut CN-232 versi militer yang diproduksi PT IPTN (saat itu). Fokker sendiri telah tutup pabriknya di Belanda karena terbelit masalah finansial yang parah. Dalam melakukan perawatan pesawat terbang militer, TNI-AU memiliki beberapa skuadron teknik yang bertanggung jawab dalam hal ini. Untuk suku cadang "Paratrooper" yang versi sipilnya dinamai "Fellowship", para operator masih cukup mudah untuk mendapatkannya di pasaran internasiona
Pesawat Fokker 27-30 TNI AU yang jatuh merupakan produksi negeri Belanda, 26 September 1976. Usianya hampir 33 tahun. Memang, pesawat Angkatan Udara itu masih laik terbang dalam usia 25-40 tahun, tapi usia 33 tahun bukan muda lagi. Dalam sejarah penerbangan Indonesia, kecelakaan pesawat Fokker sedikitnya terjadi dua kali yakni 6 Maret 1979 dan 11 Juli 1979. Pesawat milik Garuda Indonesia itu berjenis Fokker 28. Namun yang tak kalah penting, maskapai penerbangan harus bisa mengambil hikmah dari kecelakaan pesawat itu. Apalagi perusahaan penerbangan selalu membawa penumpang dalam jumlah besar. Kelaikan terbang dan kesiapan kru menjadi tuntutan pengguna jasa penerbangan. Hal ini tentunya menjadi tuntutan bagi faktor keselamatan para penumpang dan kru pesawat yang menggunakan pesawat ini.
Dengan kejadian Tim investigasi bergerak cepat menyelidiki jatuhnya pesawat Fokker 27 TNI-AU. Sehari setelah insiden, tim di bawah koordinasi Dinas Keselamatan Penerbangan dan Kerja (Dislambangja) TNI-AU tersebut langsung melakukan operasi tertutup. Karena kecelakaan terjadi pada armada TNI dan dalam operasi resmi militer, personel sipil tidak dilibatkan. Dalam catatan skuadron 2, pesawat Fokker A-2703 yang jatuh dalam kondisi prima. Sebelum melakukan misi dropping penerjun tempur, pesawat itu juga baru saja mengangkut logistik ke Denpasar, Bali.

Faktor Penyebab kecelakaan
Hasil dari penyelidikan Tim Investigasi TNI AU belum dipublikasikan, namun diperkirakan awal pendaratan yang gagal disebabkan oleh faktor cuaca, yakni datangnya angin dari arah samping yang berkecepatan sampai tinggi sehingga mengubah arah pesawat. Namun hasil yang sebenarnya masih menunggu penyelidikan yang komprehensif.
Berdasarkan data yang ada, dalam sejarah penerbangan Tanah Air, musibah penerbangan di Indonesia lebih banyak berhubungan dengan faktor penyebab cuaca buruk seperti hujan deras, angin kencang dan kabut tebal. Faktor cuaca ini lebih banyak menimpa pesawat terbang bermesin propeler daripada jet. Kejadian kecelakaan penerbangan semacam ini lebih sering terjadi pada rute perintis dengan medan pegunungan.
Sebaliknya, pesawat jet yang berbadan lebar yang dilengkapi peralatan canggih dengan mesin dan sistem dalam pesawat terbang sangat mutakhir didukung oleh sistem maintenance pesawat terbang yang baik, dengan bandara yang dituju atau yang ditinggal serba lengkap fasilitasnya, terbang tinggi di atas 30.000 kaki yang hampir terbebas dari cuaca buruk. Penerbangnya pun sangat berpengalaman dan sudah lulus dari berbagai seleksi, serta mental dan pikirannya hampir tidak dibebani oleh permasalahan yang kompleks dari perusahaan, penjadwalan jam terbang yang teratur dan sesuai dengan peraturan organisasi penerbangan sipil internasional. Faktor penyebab kecelakaan penerbangan, menurut Dr. Raman R. Saman, seorang dokter penerbang senior, yaitu: manusia yang terdiri atas pilot itu sendiri atau personel lain, mesin pesawat termasuk bahan bakar pesawat, media yang berupa cuaca di sepanjang rute penerbangan, metode yang berupa peraturan dan kebijakan penerbangan, misi tujuan penerbangan, manajemen personal (termasuk maintenance dalam operasi penerbangan) dan moneter dari perusahaan penerbangan.
Biasanya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh tim investigasi kecelakaan penerbangan hanya dibahas faktor penyebab pokok yang terdiri atas faktor manusia, mesin dan media karena ketiganya ini merupakan penyebab utama, sedangkan faktor-faktor yang lain hanyalah sekadar pendukung saja. Oleh sebab itu, kita tidak boleh tergesa-gesa membuat keputusan bahwa pada setiap
kecelakaan pesawat penyebab kecelakaan adalah pilot sebagai penerbangnya.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan International Civil Aviation Or-ganization (ICAO), mengungkapkan bahwa 80-90 persen kecelakaan pesawat merupa-kan kontribusi kesalahan ma-nusia (human error). Tapi dari human error itu paling banyak adalah kesalahan awak pesawat, (Dr Yaddy Supriyadi, Sh,MM,SsiT) 65 persen human error adalah kesalahan awak pesawat (flight crew error).
Sementara penelitian yang dilakukan perusahaan Boeing terhadap faktor penyebab kecelakaan pesawat antara tahun 1980-1999 menunjukkan bahwa kesalahan awak pesawat mencapai 72,5 persen. Kesalahan akibat pesawat itu sendiri sebesar 10,8 persen, perawatan 2,5 persen, cuaca 5 persen, badan udara atau Air Traffic Control (ATC) 5 persen dan lain-lain 4,2 persen.
Kontribusi lainnya adalah faktor pemeliharaan/perawatan pesawat, cuaca, ATC dan lain-lain. Diungkapkan pula bahwa 49 persen kecelakaan terjadi pada saat menjelang dan waktu pendaratan. Kesalahan awak pesawat pada kecelakaan ini mencapai 80 persen. Yaddy memaparkan, perusahaan Boeing juga memprediksikan bahwa pada ta-hun 2005an angka kecelakaan pesawat akan cenderung naik 20 kali bila dibandingkan dengan rata-rata kecelakaan pesawat yakni 15 kali per tahun pada dekade tahun 1980an.
Ia menyebut selama ini kecelakaan pesawat diturunkan dengan pendekatan teknologi dan regulasi, di mana teknologi makin canggih dan regulasinya makin kuat, kecelakaan pesawat berkurang. Namun setelah teknologi dan regulasi bagus, belakangan kecelakaan pesawat makin sering terjadi. Berarti metode pendekatan teknologi dan regulasi ini hanya sampai tahun 1980an. Sebab ternyata perlu juga pendekatan human factor yakni interaksi manusia dengan pe-ralatan, prosedur dan sebagainya.

Anggaran Pertahanan
Minimnya anggaran pertahanan Indonesia sudah sejak lama menjadi pengamatan sekaligus bahan pertimbangan para pengambil kebijakan strategis banyak negara di dunia yang berkepentingan terhadap Indonesia dan kawasan. Dan kali ini, secara sangat eksplisit, justru tetangga kita sendiri yang bersedia mengingatkan akan kelemahan kita yang satu ini. Harus kita akui bahwa kita telah mengebiri anggaran pertahanan atas nama pembangunan di sektor lainnya, misalnya saja, dalam APBN 2009, sebut saja sektor pendidikan yang menjadi sektor yang paling diprioritaskan. Dengan dalih bahwa tidak akan ada ancaman perang terbuka dalam 10 tahun ke depan, dengan dalih bahwa inilah saatnya bergiat membangun, kita telah dengan sengaja me-nomorsekian-kan kekuatan pertahanan. Pada hakikatnya, penetapan skala prioritas itu memang perlu agar pembangunan nasional yang kita selenggarakan ini terfokus. Akan tetapi, jangan sampai skala prioritas ini tega mengorbankan sektor sepenting pertahanan. Mengabaikan signifikansi & nilai strategis sebuah kekuatan pertahanan sama saja artinya mengabaikan pentingnya harga diri & wibawa bangsa di mata dunia.
Ironisnya, juga merupakan fakta bahwa, anggaran pertahanan kita yang sudah terbatas dan tidak memenuhi kebutuhan minimum itu pun masih terus dipangkas lagi apabila ada permintaan dari para pembuat kebijakan demi prioritas pembangunan sektor lain. Jadi, anggaran pertahanan kita menjadi semacam deposit bagi sektor lain yang lebih dipentingkan atas dasar kebijakan politis.
Pada tahun anggaran 2009, pemerintah mengalokasikan dana Rp 35,03 triliun atau turun sekitar Rp 1,29 triliun dibanding tahun anggaran 2008 yang mencapai Rp 36,32 triliun, bagi sektor pertahanan dan TNI. Dari anggaran senilai Rp 35,03 triliun itu, TNI-AU mendapatkan sekitar Rp 3,4 triliun atau lebih kecil dibanding 2008 sekitar Rp 3,9 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, anggaran alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI memang masih minim. Namun, alokasinya akan bergantung pada postur APBN secara keseluruhan. Anggaran TNI juga telah dibahas di tingkat pemerintah dengan persetujuan DPR. Dengan Anggaran pertahanan 2009 yang sekitar Rp 35 triliun, hal ini dirasa masing sangat kurang. Dalam rapat dengar pendapat tahun lalu, Komisi I DPR pernah mengungkapkan anggaran pertahanan yang ideal adalah Rp 100 triliun. Selain itu juga masalah alokasi anggaran, Depkeu dan Bappenas berusaha memperbaiki mekanisme pengadaan barang terutama alutsista bagi Dephan. Masih banyak belanja alutsista yang sampai kini belum terealisasi. Bahkan, ada yang masuk blue book (rencana pengadaan) 2005 yang belum terealisasi, menurut Menkeu ditambahkan. Selain kecepatan dalam realisasi alutsista, pembiayaan alutsista juga akan dibenahi. Selama ini banyak alutsista yang dibiayai dengan kredit ekspor.
Sementara itu, kenyataan bahwa Ancaman nyata termasuk juga skenario kecenderungan ke depan akan melahirkan tantangan baru bagi Indonesia. Disintegrasi tampaknya akan terus menjadi perhatian sebagai akibat dari kompleksitas masalah ekonomi dan politik yang berimplikasi pada hubungan antara pusat dan daerah. Sebagai negara kepulauan Indonesia akan terus dihadapkan pada beberapa tantangan saat ini dan ke depan. Perkembangan teknologi bidang pertahanan/militer khususnya bagi TNI AU tidak hanya memberi kekuatan yang lebih besar, melainkan yang paling penting adalah mengubah cara berperang dan bertahan yang berarti pula membentuk strategi pertahanan matra udara. Negara-negara dengan teknologi tinggi cenderung mengembangkan kekuatan yang mobile dengan man power yang lebih efisien. Postur pertahanan udara juga menjadi lebih ramping dan berorientasi penangkalan ke luar. Strategi pertahanan udara mereka cenderung bersifat denial dan preventif dengan memukul kekuatan musuh potensial di luar wilayah. Oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan teknologi, banyak negara mengubah strategi pertahanan udara mereka ke arah capability-based atau scenario-based defence strategy. Pendekatan ini memberi keleluasaan dan mampu menghadapi masa depan. Strategi pertahanan udara yang hanya didasarkan pada ancaman saat ini akan selalu ketinggalan dan tidak cukup waktu untuk melakukan perubahan atau penyesuaian tanpa resiko tinggi.
Dalam kaitannya dengan anggaran pertahanan yang minim, kita mesti berkaca kepada negara-negara tetangga. Mereka juga berada di kawasan yang sama dengan kita, mereka berada di lingkungan strategis (lingstra) yang sama dengan kita, suatu lingstra regional yang relatif damai dengan potensi ancaman perang yang sangat minim, namun lihat apa yang mereka lakukan, dan lihat betapa besar anggaran pertahanan mereka.
Berkaca kepada Singapura, sebuah negara dengan jumlah penduduk kurang dari separonya penduduk DKI Jakarta, namun memiliki anggaran pertahanan mencapai 3-4 kali lipat anggaran pertahanan negara Indonesia secara keseluruhan. Singapura setiap tahun menetapkan porsi anggaran pertahanannya pada kisaran 30% anggaran negaranya, dan ini menjadi porsi terbesar sekaligus prioritas utama dalam anggaran negara Singapura dibanding sektor apapun lainnya. Besaran ini sekaligus setara dengan 5% PDB Singapura. Bahkan dalam anggaran terbarunya, mereka mencanangkan porsi 6% dari PDB untuk anggaran pertahanan tahun 2009.
Di sisi lain, Malaysia, sebuah negara dengan jumlah penduduk kurang dari jumlah penduduk Jawa Tengah, namun memiliki anggaran pertahanan 2,5 kali lipat anggaran pertahanan negara kita. Malaysia menetapkan porsi anggaran pertahanannya pada kisaran 2-3% dari PDBnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, dengan penduduk terbanyak di Asia Tenggara, dengan wilayah kedaulatan terluas di Asia Tenggara, dengan sumber kekayaan alam terbesar di Asia Tenggara, atau dengan kata lain, Indonesia sebagai negara yang memiliki tanggung jawab pertahanan terbesar terhadap rakyat dan wilayah kedaulatan serta kekayaan alamnya di kawasan ini, hanya memporsikan anggaran pertahanan sebesar 1 s/d 1,4% dari PDBnya. Agar kita tidak terjebak dengan selisih secara prosentase yang sekilas terlihat tidak signifikan ini, perlu kita pahami bahwa selisih 1-2% saja dalam suatu anggaran pertahanan berimplikasi sangat besar, karena 2% PDB tentunya adalah 2 kali lipat dari 1% PDB.
Secara angka, pada tahun 2008 misalnya, pengeluaran pertahanan kita hanya setara US$ 4,7 milyar. Sedangkan Singapura pada tahun 2007 saja menghabiskan US$ 7,1 milyar. Singapura jelas berpenduduk jauh lebih kecil dengan luas wilayah juga jauh lebih kecil daripada Indonesia, namun anggaran pertahanan mereka jauh lebih besar daripada anggaran pertahanan Indonesia. Bukankah ini suatu keanehan?
Kemungkinannya hanya ada dua, yakni: kita yang terlalu meminimalisir anggaran pertahanan, atau, negara tetangga kita itu yang terlalu memperbesar anggaran pertahanan? Sebagai komparasi, NATO menyarankan kepada masing-masing negara anggotanya untuk menganggarkan minimum 2% dari PDB untuk anggaran pertahanan. Angka 2% ini menjadi semacam syarat bagi terselenggaranya suatu sistem pertahanan minimum.
Mengenai minimnya anggaran pertahanan Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, mungkin akan ada yang berkilah, "Ah, itu karena PDB kita memang kecil, apa boleh buat?" Apakah PDB kita memang kecil? Bahkan sebaliknya, PDB kita adalah terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2007, PDB kita bahkan menempati urutan ke-20 terbesar di dunia dari 180 negara yang terdata, dengan angka US$ 433 milyar. Bandingkan dengan Malaysia & Singapura yang pada tahun yang sama PDBnya masing-masing berkisar pada angka US$ 181 milyar dan US$ 161 milyar. Artinya, PDB Indonesia adalah 2,4 kali lipat PDB Malaysia dan 2,7 kali lipat PDB Singapura, akan tetapi anehnya, anggaran pertahanan Indonesia lebih kecil dari kedua-duanya.
Jadi, kendala anggaran pertahanan kita ini bukan dikarenakan keuangan negara sedang seret, melainkan karena ketiadaan minat dari para pemegang kebijakan di negeri ini terhadap suatu postur kekuatan pertahanan yang kuat.

Si Vis Pacem Para Bellum
( Siapa ingin damai, bersiap-siaplah sewaktu-waktu untuk terjun dalam perang).Lebih jauh lagi, anggaran pertahanan janganlah semata-mata dikaitkan dengan potensi ancaman perang saja. Harus disadari bahwa anggaran pertahanan memiliki value yang sungguh strategis, baik di masa damai maupun perang. Harus dimiliki sebuah kearifan bersama oleh segenap komponen bangsa, bahwa postur pertahanan yang kuat itu tidak hanya diperlukan di masa perang. Salah besar kalau kita beranggapan bahwa postur TNI yang tangguh dan disegani yang dicita-citakan itu hanya berguna di masa darurat perang. Harus kita pahami bahwa kekuatan pertahanan akan berimplikasi langsung kepada nilai tawar dan kedudukan diplomatik negara di percaturan politik global. Negara yang kuat pasti akan disegani. Negara yang lemah pasti dilecehkan. Mau tidak mau, "hukum rimba" di percaturan politik internasional ini harus kita antisipasi secara cerdas dan terus-menerus, terlepas dari apakah lingstra kita sedang bersuhu "dingin" maupun "panas". Bahkan, dapat dikatakan sangat terlambat apabila kita baru memperkuat pertahanan setelah lingstra regional kita “panas”, karena dalam keadaan seperti itu, sebagaimana yang telah terjadi pada Iraq misalnya, negara musuh akan memberlakukan berbagai macam embargo & blokade untuk melemahkan kita sebelum serangan itu dibuka.
Oleh karena itu, sebelum semuanya terlambat, selagi lingstra regional masih kondusif, perkuatlah kekuatan pertahanan. Bila kita tetap ingin diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, maka kita harus berlaku sebagai bangsa yang besar.
Negara dengan kekuatan pertahanan yang mumpuni pasti akan didengar suaranya dan diperhitungkan kepentingannya. Tidak akan ada negara yang berani mengganggu gugat kedaulatan kita, tidak akan ada negara yang berani menerbangkan pesawat tempurnya dengan angkuh dan semena-mena di wilayah kedaulatan kita, tidak akan ada negara yang berani menggeser-geser patok batas wilayah kita, seandainya Indonesia memiliki kekuatan pertahanan yang tangguh. Negara yang kuat otomatis memiliki daya tangkal terhadap segala macam ancaman, tantangan, halangan maupun gangguan, baik dari dalam maupun luar negeri. Daya tangkal ini, secara sadar maupun tidak sadar, suka atau tidak suka, dibutuhkan secara mutlak dan tak tergantikan bagi terselenggaranya pembangunan yang benar-benar ditujukan bagi kepentingan nasional.
Tanpa adanya daya tangkal ini, penyelenggaraan negara sangat rentan terhadap infiltrasi kepentingan asing. Lihatlah Timtim yang sudah lepas, lihatlah Sipadan & Ligitan yang sudah jatuh ke tangan Malaysia, semua itu terjadi karena kita tidak "bertaring" di meja perundingan internasional. Tidak ada yang takut dan segan dengan kita. Lalu lihatlah sekarang Ambalat yang terancam, lihat pula wilayah udara kita di Kepulauan Riau dan sekitarnya yang tetap di bawah kontrol FIR Singapura terlepas dari usaha & keinginan kita agar wilayah udara itu diserahkan kembali ke FIR kita, lihat pula MTA-1 & MTA-2 yang dikuasai secara eksklusif oleh Singapura, lihat pula ancaman separatisme yang kerap ditunggangi kepentingan asing di Aceh, Papua maupun daerah lainnya. Kesemua ini adalah karena absennya national pride & dignity, harga diri & kewibawaan suatu bangsa, yang seharusnya ditopang dengan kekuatan pertahanan yang memadai. Si vis pacem para bellum, siapa yang ingin damai, harus memiliki kesiapan berperang.
"Kesiapan berperang" ini jangan dimaknai secara sempit sebagai keinginan untuk berperang. Justru kesiapan berperang inilah yang menjadi daya tangkal bagi setiap pihak di dalam maupun luar negeri yang berniat menggoyang kedaulatan bangsa agar mengurungkan niatnya. Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa apabila kita memiliki kesiapan perang yang tangguh, maka sudah pasti kandidat lawan akan membatalkan setiap niatnya untuk mengancam maupun mengganggu kedaulatan kita.
Agar dapat menangkal lebih dini, perlu ditempatkan radar-radar sebagai kekuatan pertahanan udara yang dilengkapi peluru kendali. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah penangkalan dan memberi dampak moral atas kekutan tersebut. Adapun penyebaran radar beserta rudal ditempatkan di kota yang diperkirakan menjadi celah bagi masuknya ancaman dari luar, misalnya sebagai berikut : Natuna, Aceh, Padang, Jakarta, Madiun, Tarakan, Kendari, Morotai, Kupang, Tanimbar, Biak, dan Merauke. Untuk kemampuan dan jenis radar atau rudal disesuaikan dengan medan serta peruntukannya.
Dalam situasi pada masa ini, pilihan-pilihan strategi pertahanan udara yang ditopang oleh kemampuan-kemampuan spesifik sebenarnya telah tampak jelas. Tetapi sampai saat ini hal itu seolah masih terabaikan. Sehingga kekuatan mendasar pertahanan udara yang memenuhi syarat mobilitas tinggi dan mampu melakukan kontrol wilayah yang luas tidak dikembangkan dengan baik. Ini tidak hanya kesalahan yang terjadi di kalangan elit dan suprastruktur melainkan juga pada infrastruktur dan masyarakat secara luas.
Pemahaman tentang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbuka yang seharusnya diikuti dengan penyiapan kemampuan dan keahlian bidang kelautan dan kekuatan udara juga sangat lemah. Jika semua ini membentuk apa yang disebut sebagai strategic and military culture yang sulit diubah, maka Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan makin jauh tertinggal dalam persaingan-persaingan strategis di kawasan. Untuk mewujudkan strategi pertahanan udara dengan penyebaran pangkalan, radar dan rudal, perlu sinergi dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang didorong semangat nasionalisme.
Sebagai bagian integral dari TNI, TNI AU yang merupakan komponen utama alat pertahanan negara di udara berperan dalam melaksanakan tugas menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa sesuai fungsinya dari setiap ancaman yang datang dari luar negeri maupun dalam negeri. Dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara dan menegakkan hukum di udara, TNI Angkatan Udara harus memiliki kemampuan dalam mendayagunakan seluruh potensi kekuatan udara secara maksimal baik pada masa perang maupun masa damai. Sebagai kekuatan pertahanan negara yang memanfaatkan media udara secara luas dan menjadikannya sebagai potensi kekuatan udara, TNI Angkatan Udara sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan. Dengan semakin canggihnya teknologi alat utama sistem senjata udara yang berkembang saat ini menyebabkan kebutuhan akan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan dalam mendukung tugas TNI Angkatan Udara tidak dapat terelakkan lagi. Namun, kenyataannya tidaklah dapat dipungkiri, dengan serba keterbatasan yang ada, yang dimiliki Bangsa Indonesia dengan Departemen Pertahanan selaku induk dari Organisasi TNI khususnya terhadap TNI AU, maka keterbatasan yang ada mengenai persoalan anggaran pertahanan dan alokasinya bagi TNI AU merupakan suatu hal yang telah klasik dan sulit dicapai jalan keluarnya. Keadaan ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap upaya dalam pengoptimalisasian peran TNI AU dalam memberikan sumbangsihnya bagi pertahanan matra udara Negara Indonesia yang tercinta ini.
Kondisi demikian bila terus dibiarkan akan membawa dampak kepada kurang optimalnya kesiapan dan kemampuan TNI AU dalam menjaga NKRI selaku pelaksana pertahanan matra udaranya. Sehingga ke depan diperlukan adanya perubahan yang sangat signifikan khususnya peran dan perhatian pemerintah dalam memberikan alokasi anggara yang ideal dan memadai dalam mewujudkan pertahanan udara yang tangguh dan handal, guna membentuk sebuah kekuatan modern bagi upaya menjaga kedaulatan NKRI ini

Bandung, 27 April 2009

Referensi :
1) The International Institute for Strategic Studies: Military Balance 2002-2003, London, 2002.
2) ADPR Consult (M) Sdn Bhd: IndoAerospace & Defence 2008 Supplement, Malaysia, 2008.
3) www.mediaindonesia.com: “Anggaran Pendidikan Capai 20%”, Jakarta, 16 Agustus 2008.
4) www.straitstimes.com: “S'pore defence budget up 6%”, Singapura, 22 Januari 2009.
5) http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_GDP_(nominal)
6) Artikel di di www.tandef.com Oleh: Khairil Azmi, B.Eng., M.IScT., Direktur Eksekutif TANDEF
7)Koran PR, Kompas,harian lokl, tgl 6 April 2009.

Tidak ada komentar: