Rabu, 27 Mei 2009

Pelaksanaan Pengamanan Perbatasan Negara dihadapkan dengan
Pengembangan Postur TNI AD

Oleh : Sapuan, S.Sos

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar dan terluas di dunia yang terdiri dari lautan dan pulau-pulau besar maupun kecil yang berjumlah ± 17.506 pulau dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.290 Km dengan luas wilayah sekitar 7,7 juta Km2. Dari okndisi ini, Indonesia mempunyai wilayah perbatasan negara yang panjang serta mempunyai peranan dan nilai strategis dalam mendukung tegaknya kedaulatan negara, sehingga pemerintah negara dan segenap komponen masyarakat Indonesia wajib memperhatikan kesejahteraan dan keamanan nasional di wilayah tersebut. Wilayah daratan Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini di pulau Papua dan Timor Leste di pulau Timor dengan karakteristik berbeda-beda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial, politik ekonomi dan budaya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste. Wilayah perbatasan laut pada umumnya ditandai oleh pulau-pulau terluar yang hingga kini beberapa diantaranya masih perlu pengelolaan yang lebih intensif karena masih terdapat kecenderungan terjadinya berbagai permasalahan dengan negara-negara tetangga. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi serta keamanan yang masih sangat terbatas.
Beberapa permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan negara antara lain: Pertama, banyak belum tuntasnya kesepakatan perbatasan antarnegara, kerusakan tanda-tanda fisik perbatasan dan belum tersosialisasinya secara baik batas negara kepada aparat pemerintah dan masyarakat. Kedua, kesenjangan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial di wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga maupun wilayah sekitarnya, sehingga masyarakatnya menjadi seolah-olah terpinggirkan. Ketiga, luas dan jauhnya wilayah perbatasan dari pusat pemerintahan Provinsi dan Kabupaten; keterbatasan aksesibilitas yang mengakibatkan sulitnya dilakukan pengawasan dan pengamanan; Keempat, penyebaran penduduk yang tidak merata dengan kualitas SDM yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali khususnya hutan secara legal maupun ilegal yang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup disekitarnya. Demikian pula dengan kurang terkendali serta lemahnya sistem informasi dan komunikasi. Bahkan lemahnya penegakkan hukum serta kesenjangan ekonomi antarwilayah tersebut telah mendorong terjadinya kegiatan ilegal di wilayah perbatasan seperti perdagangan illegal (illegal trading), lintas batas ilegal, perdagangan manusia (human traficking), penambangan illegal, penebangan hutan ilegal (illegal logging) dan kejahatan transnasional (transnational crimes) lainnya menjadi kasus-kasus keamanan yang terjadi hampir di seluruh wilayah perbatasan. Selain itu, sebagai dampak dari kedudukannya sebagai pintu masuk dan keluar arus sumber daya ekonomi antarnegara, maka wilayah perbatasan pun rawan terhadap infiltrasi asing dan tempat persembunyian kelompok separatis.
Kondisi ini menjadikan wilayah perbatasan memiliki potensi kerawanan baik internal maupun eksternal. Dari aspek internal, masyarakat perbatasan yang terpencil, miskin dan terpinggirkan akan memiliki kesadaran atau wawasan kebangsaan yang rendah serta tidak dapat diandalkan sebagai pilar keamanan, yang akhirnya dapat membahayakan eksistensi negara. Dari aspek eksternal, wilayah perbatasan merupakan wilayah terbuka bagi pihak luar untuk masuk ke wilayah Indonesia maupun bagi warga negara Indonesia untuk ke luar, sehingga apabila wilayah perbatasan tidak diamankan secara baik, dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. Untuk itu, peran TNI khususnya TNI AD dalam melaksanakan tugas pengamanan di wilayah perbatasan menjadi demikian sangat diharapkan sebagai ujung tombak dalam menangkal kemungkinan adanya ancaman, gangguan, hambatan serta tantangan yang mungkin datang dan akan mengancam bagi kelangsungan dan kedaulatan NKRI yang dicintai ini.
Kemudian, kondisi nyata yang dihadapi adalah semakin berkembangnya pengaruh Global yang berpengaruh pula pada Lingkungan strategis khususnya wilayah dan kawasan perbatasan yang ada di Indonesia, menjadikan berkembangnya permasalahan yang semakin kompleks di perbatasan. Menghadapi kenyataan ini, maka tuntutan akan kemampuan yang lebih baik dari TNI AD selaku pemegang peran pertahanan Negara di wilayah darat menjadi semakin sangat kuat sehingga menuntut keberadaan postur TNI AD yang prima dan siap sedia dihadapkan dengan perkembangan lingkungan yang terjadi dan dinamis.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, dapatlah ditarik pokok permasalahannya : bagaimana pelaksanaan pengamanan perbatasan Negara yang optimal dihadapkan dengan pengembangan postur TNI AD saat ini ?
Kedaulatan negara menunjukkan integritas dan martabat suatu bangsa dan harus dijaga keutuhannya. Negara yang tidak mampu menjaga kedaulatan setiap jengkal wilayahnya, termasuk daerah perbatasan menggambarkan lemahnya keutuhan dan kedaulatan negara tersebut. Kedaulatan negara menurut pengertian dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yaitu kedaulatan di tangan rakyat dengan berdasarkan kepada kelima butir Pancasila. Dalam konsep Wawasan Nusantara, Kedaulatan NKRI dijabarkan merupakan suatu konsep kesatuan wilayah yang mencakup darat, laut (termasuk dasar laut dan daratan di bawahnya) dan udara. Kedaulatan tersebut juga meliputi penguasaan dan kewenangan atas pengelolaan SDA dan pengaturan alur laut ALKI. Sejak diakuinya konsep Wawasan Nusantara oleh dunia internasional dalam Konvensi Laut PBB tahun 1982 (yang telah berlaku sejak 16 Nopember 1994) telah memperluas kewenangan Indonesia tidak saja terhadap wilayah kedaulatannya atas perairan Nusantara dan Laut Wilayah yang mengelilinginya, tetapi juga hak-hak di luar perairan Nusantara dan di dasar laut serta tanah di bawahnya di landas kontinen Indonesia (Zona Ekonomi Ekslusif) sejauh 200 mil.
Sementara itu, TNI AD sebagaimana diamanatkan UU NO 34/2004, mengemban peran, fungsi, dan tugas-tugas TNI matra darat di bidang pertahanan dan keamanan negara. Pada lingkup pembinaan dituntut untuk senantiasa mewujudkan kesiapan operasional satuan di seluruh jajaran TNI AD, mencakup suatu keutuhan sistem kesenjataan matra darat, yang bertumpu kepada keterpaduan sumber daya manusia, alat peralatan dan perangkat lunak yang handal dan dinamis.
Kesiapan operasional TNI AD yang prima akan mampu mewujudkan kesiagaan operasional TNI dalam menghadapi hakikat ancaman yang menyangkut tugas TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara, baik itu tugas dalam suatu operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut kita harus mampu mengenali dan mengantisipasi setiap perkembangan lingkungan yang sangat dinamis, yang akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap upaya-upaya pembinaan dan pembangunan TNI pada umumnya, dan TNI AD pada khususnya. Oleh Karena itu setiap pimpinan haruslah mampu mengambil kebijakan dan keputusan yang tepat dan proporsional, dengan menerapkan pola manajemen yang rasional dan realistik serta menentukan prioritas-prioritas secara tajam yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan yang terjadi.
Dinamika perkembangan lingkungan senantiasa bergerak sangat cepat dan dinamis baik pada tingkat global dan regional maupun pada tingkat nasional. Hal ini akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan tugas-tugas TNI secara keseluruhan saat ini maupun ke depan. Berbagai kecenderungan menunjukkan hakikat tantangan dan permasalahan yang dihadapi menjadi semakin beragam dan semakin kompleks, dengan intensitas yang tinggi. Sedangkan di sisi lain kemampuan negara sampai dengan saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan ideal TNI, baik menyangkut kebutuhan untuk modernisasi maupun pemeliharaan alat utama sistem senjata, pemeliharaan perangkat keras, peningkatan profesionalisme serta kebutuhan perbaikan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Dalam kondisi seperti itu TNI AD yang kekuatan utamanya terletak pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang ditopang dengan alat utama sistem senjata, harus mampu secara inovatif untuk terus menerus melakukan pembinaan secara tepat, terarah dan berkesinambungan. Kemampuan TNI AD yang handal yang disusun melalui gelar kekuatan terpusat dan kewilayahan baik gelar satuan maupun alat peralatannya, dilakukan dengan suatu pertimbangan matang dan terukur, strategi ini diharapkan akan menjadikan TNI AD benar-benar mampu melaksanakan tugas, dalam melaksanakan amanah menjaga kedaulatan dan integritas wilayah nasional, harus juga mampu melaksanakan tugas- tugas seperti yang diamanatkan UU 34/2004 tentang tugas-tugas TNI AD yang lainnya. Hal-hal tersebut perlu menjadi orientasi arah pembinaan dan pembangunan postur TNI AD ke depan, baik yang menyangkut struktur kekuatan, tingkat kemampuan dan konsep gelar, untuk mampu mengantisipasi setiap ancaman dan dinamika tantangan di masa depan.
Dalam menyikapi tuntutan yang semakin mengemuka dalam mewujudkan suatu kehandalan dalam memaksimalkan peran TNI selaku pelaksana fungsi pertahanan Negara khususnya dalam menangkal segala sesuatu yang semakin mengemuka di wilayah perbatasan, hal ini tidak terlepas dari siklus yang terjadi di tingkat pusat. Imbas dari reformasi yang melahirkan transformasi TNI menjadikan tuntutan profsionalisme yang semakin kuat dan memisahkan TNI khususnya TNI AD dari peta perpolitikan Negara.
Kenyataan yang terjadi kemudian, bahwa Transformasi TNI yang digulirkan sejak dimulainya reformasi tahun 1999 menuju Indonesia yang demokratis, sampai saat ini masih banyak menemui hambatan. Walaupun TNI telah menyatakan tekadnya untuk menjadi militer yang profesional, namun masalah hubungan sipil-militer di Indonesia tidak begitu saja terselesaikan. Hubungan sipil-militer, bagaimana pun juga akan menimbulkan konsekuensi yang harus dipenuhi kedua pihak. Sipil membutuhkan militer untuk menjaga wilayah dan kedaulatan negara, sedangkan militer membutuhkan dukungan sipil atas alokasi anggaran dalam rangka mengatasi berbagai ancaman yang timbul. Saat ini, persoalan yang paling mendesak dan menjadi kewajiban sipil adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI dalam konteks demokrasi.
Keberhasilan pembangunan landasan hukum ini sebenarnya sangat terkait dengan visi politik dan transformasi militer yang dimiliki sipil. Tentang bagaimana pemimpin sipil mampu membangun militer yang profesional dalam tatanan demokratis. Faktanya, sampai hari ini, ketidaksepakatan di kalangan pemimpin sipil tentang konsep keamanan negara menjadi sebab dari inkonsistensi regulasi yang ada. Persoalan menjadi semakin kompleks dengan adanya wacana sipil yang mengatakan bahwa demokrasi dan militer adalah dua hal yang tidak dapat disatukan. Pemikiran seperti ini hanya membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militernya. Seakan-akan, militer tidak dibutuhkan lagi dalam demokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah negara sebenarnya membutuhkan “pengawal.” Demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, faktanya akan melahirkan banyak kepentingan yang perlu dikelola dengan tepat. Pada titik inilah, peran militer yang kuat guna menjaga demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat dibutuhkan.
Militer dan demokrasi bukanlah sesuatu yang bertentangan. Sebagai contoh, Amerika Serikat, sebagai negara yang mengklaim paling berdemokrasi di muka bumi, pada faktanya memiliki militer yang paling kuat di dunia. Bagaimanapun juga, militer hadir sebagai komponen inti untuk menjaga kedaulatan negara dan pilihan rakyatnya untuk berdemokrasi sesuai dengan tujuan nasional yang telah ditetapkan.
Persoalan di atas minimal dapat dilihat dari prioritas kebijakan sipil terkait dengan pemisahan TNI dan Polri serta pemaknaan atas pertahanan dan keamanan yang diatur dalam Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000. Akibatnya, pembangunan kekuatan Polri mendapat first priority dengan anggaran yang besar, di mana TNI akhirnya menjadi second piority. Kebijakan ini dibangun berdasarkan pertimbangan bahwa ancaman militer tidak akan datang dalam kurun waktu 5 sampai 15 tahun mendatang.
Di sisi lain lagi, Polri langsung bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan TNI di bawah Menteri Pertahanan. Di samping itu, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan ditetapkan sebagai rujukan untuk menyusun UU TNI, UU keterlibatan rakyat sebagai komponen cadangan, penentuan sumber daya nasional sebagai komponen pendukung, serta penyusunan Dewan Pertahanan Nasional. Sedangkan UU Kepolisian Negara langsung merujuk kepada Tap MPR No. VI dan VII Tahun 2000 serta menempatkan posisi Polri untuk tidak terlibat atau tidak melibatkan diri dalam Sishankamrata sebagai strategi nasional.
Di samping itu, terbatasnya kemampuan pemerintah memenuhi kebutuhan anggaran TNI yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit maupun perbaikan dan peningkatan kualitas serta kuantitas alutsista, juga merupakan salah satu konsekuensi dari transformasi militer yang sampai saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Bahkan, prosedur penurunan anggaran TNI pun masih harus melalui proses birokrasi yang panjang, mulai dari Departemen Keuangan, Bappenas, DPR, dan Departemen Pertahanan. Akibatnya, instruksi anggaran TNI yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, dalam pelaksanaannya terlambat tiga sampai empat bulan.
Walaupun demikian, setitik harapan muncul dari kalangan TNI seiring dengan komitmen sipil menaikan gaji prajurit sampai 20% dan berbagai rencana perbaikan kesejahteraan TNI, serta disepakatinya kerjasama pengadaan persenjataan dengan Rusia melalui pinjaman negara (state credit) yang dapat dipakai untuk membeli berbagai alutsista yang dibutuhkan TNI.
Bagi TNI sendiri, akibat dari adanya inkonsistensi kebijakan sipil dan keterbatasan anggaran, menyebabkan banyaknya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Kerjasama pengadaan alutsista dengan Rusia memang memberi kepastian untuk melakukan berbagai perbaikan dan penggantian alutsista TNI yang out of date dan tidak berfungsi.
Namun, hal yang terpenting bukanlah semata-mata persoalan mana senjata yang perlu diganti dan mana yang masih layak untuk dipakai. Lebih dari itu, dalam membangun TNI yang profesional dan berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand design atas Postur TNI yang ideal.
Kita semua tahu bahwa ideal berbeda dengan kenyataan. Namun demikian, tanpa idealisme, kita tidak akan pernah tahu ke mana tujuan TNI dan bagaimana TNI yang kita cintai ini harus dibangun. Bagaimanapun juga, idealisme sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mencapai cita-cita pembangunan Postur TNI yang kuat, berwibawa, dan profesional.
Terkait dengan persoalan gelar kekuatan TNI, secara ideal, dengan mempelajari luasnya wilayah daratan, lautan dan udara, serta daerah perbatasan dengan negara tetangga yang dihadapkan pada potensi ancaman, dapat di bagi kedalam empat wilayah pertahanan, sebagai berikut; Kowilhan I bermarkas di Jakarta, Kowilhan II bermarkas di Medan, Kowilhan III bermarkas di Samarinda dan Kowilhan IV bermarkas di Jaya Pura.
Secara umum, kekuatan TNI AD yang ideal harus menggelar sebanyak 816 batalion tempur dan teritorial, 4 divisi terpusat (Kostrad dan Kopassus) serta 16 skuadron heli-serbu dan heli-angkut. Sedangkan kekuatan TNI AL yang ideal menggelar sebanyak 14 skuadron tempur (KRI), 42 skuadron terbang (KAL) yang berada dalam 4 kapal induk, 4 strategic section dengan kekuatan 14 kapal selam dimana 4 unit diantaranya strategic submarine serta 14 brigade marinir. Terakhir, kekuatan TNI AU yang ideal menggelar 140 skuadron tempur, 7 skuadron bomber, 27 satuan pertahanan udara, 40 satuan radar, dan 1 satuan strategic missile
Sejak tahun 1965-2000, tulisan Michael Leifer selalu dikaitkan dengan Singapura, terutama mengenai hubungan Singapura, Indonesia dan Malaysia, serta perannya di ASEAN dan kepentingan mengamankan kedaulatan perairannya. Menurut Tim Huxley (2005), Singapura sebagai negara kota harus memiliki posisi tawar di Asia Tenggara, terutama dengan dua negara besar yang mengapitnya, Indonesia dan Malaysia. Maka, SAF (Singapore Armed Forces) harus kuat dan memiliki kredibilitas di Asia Tenggara, tidak sebatas untuk mendukung kepentingan politik Singapura, namun juga menjaga keamanan regional. Maka, sejak tahun 1990, kebijakan luar negeri Singapura dibangun secara luas sebagai bentuk soft politics yang didasarkan pada kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer.
Berangkat dari kondisi ini dan juga memahami bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, maka, setidaknya, TNI harus memiliki postur yang “identik” dengan SAF, dengan kapasitas alutsista, SDM, dan anggaran yang disesuaikan dengan cakupan wilayah dan kondisi demografis berdasarkan karakter setiap angkatan dengan memperhatikan pula fakta atas keseimbangan kekuatan militer di Asia Tenggara dan Asia Pasifik.
Kekuatan TNI yang ideal yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas setiap karakteristik matra pertahanan berdasarkan kebutuhan spesifik atas alutsista, jumlah dan kemampuan personel serta special force-nya dan juga forcasting anggaran pertahanan yang diperlukan, sebenarnya dapat diturunkan jika grand strategy telah dirumuskan dan kebijakan yang tepat telah ditetapkan. Persoalan ini sangat membutuhkan kapasitas visi politik sipil dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Dengan adanya komitmen yang kuat, niscaya sipil dapat merumuskan kembali transformasi militer secara tepat menuju TNI yang professional.
Bila dikaitkan dengan masalah Perbatasan yang semakin banyak dan maraknya kerawanan di wilayah perbatasan, hal ini merupakan imbas dari perubahan lingkungan strategi yang terjadi akibat globalisasi yang melanda dunia. Kondisi ini bila terus dibiarkan akan mengarah kepada ancaman terganggunya keutuhan dan kedaulatan NKRI. Dalam menghadapi keadaan ini, maka pengembangan postur TNI AD yang ideal muthlak diperlukan, yang tentunya dengan diimbangi pula oleh ketersediaan Alutsista yang sesuai dengan tuntutan yang ada.
Persoalan yang mengemuka kemudian adalah terjadinya keterbatasan anggaran, hal ini sangat kuat berpengaruh terhadap pengembangan postur TNI AD yang ideal. Keadaan ini memang dimengerti karena daya dukung yang dimiliki pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya bagi pertahanan dirasa masih rendah, sehingga harus disikapi dengan melaksanakan serangkaian pemangkasan dan penghematan terhadap sejumlah kebutuhan yang dinilai tidak terlalu diperlukan dan mendahulukan sesuatu yang diprioritaskan dengan skala prioritas yang ada.
Untuk menyikapi keadaan tersebut diatas, maka nilai-nilai kejuangan dari para personel TNI AD khususnya yang ditempatkan dalam tugas pengamanan di wilayah perbatasan muthlak ditingkatkan untuk menghindari terjadinya degradasi akibat pengaruh lingkungan strategis yang terus berkembang. Salah satunya adalah dengan pembinaan satuan dan pembinaan personel yang senantiasa diberikan oleh para Dansat di satuan masing-masing. Disamping itu perlunya pemenuhan kesejahteraan yang lebih baik untuk menghindari terjadinya kecemburuan social, dimana adanya kenyataan bahwa prajurit di Negara tetangga perbatasan memiliki kecenderungan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari prajurit personel TNI AD. Selain itu, bekal dalam jiwa korsa, 8 wajib TNI dan disiplin TNI muthlak pula dimiliki dan diaplikasikan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan beberapa upaya tersebut diharapkan pelaksanaan tugas dalam pengamanan wilayah perbatasan dapat berjalan sesuai dengan tugas pokok yang diembannya. Sehingga keutuhan dan kedaulatan NKRI dapat tetap dipertahankan dan dijaga selamanya.
Dari uraian diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam melaksanakan tugas pengamanan wilayah perbatasan, pengembangan postur TNI AD muthlak diperlukan untuk mengimbangi dinamika perkembangan yang terus maju seiring dengan globalisasi yang melanda dunia. Oleh karenanya maka peran kepimpinanan para Dansat dalam membawa anggota satuannya untuk bisa menjiwai semangat kejuangan dalam melaksanakan tugas pengamanan perbatasan sangat diperlukan, disisi lain perlunya pula ditunjang dengan pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya lewat perbaikan anggaran,
Demikian tulisan mengenai Pelaksanaan Pengamanan Pebatasan Negara Dihadapkan Dengan Pengembangan Postur TNI AD ini dibuat, semoga bermanfaat.


Bandung, 25 Mei 2009

Tidak ada komentar: