Rabu, 27 Mei 2009

Pencopotan Kapolda Jatim dikaitkan dengan Pilkada Jawa Timur
Oleh : Sapuan, S.Sos

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Jawa Timur, merupakan Pilkada yang menuai permasalahan. Diawali dengan adanya selisih jumlah suara sangat tipis kurang dari satu persen, sehingga harus diadakan pemungutan suara ulang. Dalam putaran ulang proses pemilihan kemudian disinyalir terdapat adanya kecurangan yang dilakukan salah satu peserta Pilkada. Polisi yang mendapat laporan dari Panwas Pilgub Jatim tentang dugaan kesalahan DPT Pilgub Jatim , menemukan lebih 27 persen dari total pemilih yang terdapat dalam DPT adalah fiktif. Banyak Nomor Induk Kependudukan (NIK) kembar yang dipakai oleh puluhan orang. Bahkan Kapolda sendiri menangkap tangan seorang anak yang namanya masuk sebagai daftar pemilih.
Atas kejadian tersebut, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja lalu menjadikan Ketua KPUD Jatim sebagai tersangka, karena dia yang bertanggung jawab dalam penyusunan Daftar Pemilih Tetap. Namun kemudian yang terjadi justeru kapolda Irjen Pol Herman diganti dengan alasan hendak pensiun. Sepuluh hari setelah pergantian Kapolda, status tersangka Ketua KPUD Jatim diturunkan dari tersangka menjadi saksi. Herman lalu kecewa dan memilih mundur sebagai anggota Polri. (Rep/Kam:Mahfud | Penulis:Effendy | VO:Maya | Editor Video:Fajar |).
Peristiwa penggantian Kapolda Jatim yang berkaitan dengan Pilkada, dapat di jadikan bahan analisis, sehingga menjadi bisa menjadi bahan pelajaran yang berguna, bagi sisapapun yang memiliki tugas sebagai aparat negara.
Penegakkan hukum dan dugaan permainan politik.
Tindakan yang dilakukan oleh Kapolda Jatim dalam menentukan status ketua KPU Jatim sebagai tersangka, tentunya sudah sesuai prosedur yang berlaku. Diawali dengan adanya laporan yang masuk dari Panitia Pengawas Pilkada tentang adanya kecurangan dalam penyusunan daftar pemilih, lalu diadakannya penyelidikan dan setelah melihat bukti-bukti, barulah dibuat keputusan. Sebelum keputusan ini dikeluarkan tentunya Kapolri sudah terlebih dahulu. Mengingat hal ini masalah nasional yang cukup krusial. Entah bagaimana suatu keputusan yang telah diambil, tiba-tiba dianulir lagi itu manjdi menarik. Menurut pejabat Polri, perubahan status Ketua KPUD Jawa Timur dari tersangka menjadi saksi itu berdasarkan hasil supervisi Kabareskrim Polri selaku pembina fungsi penyidik. Penurunan status tersangka menjadi saksi dilakukan mengingat belum adanya bukti kuat dan keterangan saksi yang bisa menjerat Ketua KPUD Jatim menjadi tersangka keputusan yang dikeluarkan oleh mantan kapolda, belum berkekuatan hukum tetap, karena berkasnya dan bukti belum pernah diajukan ke kejaksaan. Untuk itulah setelah diselidiki lebih mendalam oleh Kapolda baru, status Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo menjadi saksi. Karena memang sebelumnya dianggap belum ada penetapan status bagi ketua KPUD Jatim. Berarti kasus ini akan terus berlanjut dengan prosedur dan penyelidikan yang lebih terbuka. Jadi kita tidak perlu khawatir si tersangka akan lepas dari jeratan hukum, jika memang yang bersangkutan benar-benar berbuat salah.
Memang ada banyak pendapat yang bisa mempengaruhi opini publik, dimana peran ketua KPUD Jatim Wahyudi yang berhasil mengantarkan pemilihan gubernur yang menetapkan Soekarwo-Syaifullah Yusuf sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Jatim. Saat itu, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja mengatakan, penetapan tersangka setelah tim penyidik memeriksa dan menyelidiki berkas-berkas dan bukti-bukti yang diberikan Panwas Pilgub Jatim dan adanya bukti kecurangan DPT yang dimiliki Polda. Dua hari setelah penetepan tersangka ketua KPUD Jatim (yang mungkin membawa nama Gubernur Jatim sekaligus partai pendukung Karsa yakni Demokrat) oleh Herman SS, tanggal 19 Februari 2009, ia diberhentikan sebagai kapolda Jatim (alasan masa pensiun) dan digantikan oleh Brigjen Pol Anton Bahrul Alam. Herman SS pun dimutasikan. Tidak hanya berhenti disana saja, awalnya Kapolda Jatim baru Anton Bahrul berjanji akan melanjutkan pengusutan kasus tindak pidana pilgub Jatim tersebut. Namun, aneh bin ajaib, kurang dari 10 hari pasca berhentinya Kapolda Jatim yang lama, status tersangka Ketua KPUD Jatim dianulir dan dijadikan sebagai saksi saja pada tanggal 27 Februari 2009. Padahal, sesuai prosedur hukum dan data kepolisian, ketua KPUD layak dijadikan tersangka.
Kita tahu bahwa salah satu partai pendukung Gubernur Jatim Soekarwo-Saifullah Yusup adalah partainya Presiden kita yakni Partai Demokrat. Jika kasus pidana pilgub Jatim ini diteruskan, maka citra Partai Demokrat dan Presiden SBY akan memudar dan bahkan belangnya akan semakin terlihat. Dan tentu, hal ini telah diantisipasi oleh sejumlah politikus dan tidak tertutup kemungkinan bisikan Kapolri Bambang Hendarso yang menberhentikan Herman SS adalah bisikan “majikannya” yang tidak lain tidak bukan adalah SBY ataupun partainya Demokrat.
Budaya mengundurkan diri.
Irjen Pol Herman S Sumawiredja, mantan Kapolda Jawa Timur ini mengajukan pengunduran dirinya sebagai polisi kepada Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pertanggal 1 Maret 2009. Keputusannya untuk pensiun dini selain karena tidak ingin makan gaji buta, juga karena kekecewaannya terhadap pimpinan Polri yang dinilainya terlalu jauh mengintervensi penyidikan kasus pelanggaran Pilkada Jawa Timur. Sesuai UU No 2 Tahun 2002, pensiun itu umur 58 tahun. Jadi kalau belum 58 tahun sudah keluar berarti mengundurkan diri dan itu sah menurut UU.
Mengundurkan diri karena merasa tidak lagi mampu meneruskan kepemimpinan bukanlah pilihan yang salah, akan tetapi merupakan pilihan yang tepat. Karena jika pemimpin itu memaksakan diri untuk terus memimpin berarti dia telah mendzolimi dirinya sendiri. Kita patut belajar kepada Jepang. Di Negeri Matahari Terbit ini, tradisi mengundurkan diri atau pemimpin yang meminta maaf karena kesalahan yang telah dilakukan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh bawahannya, sudah sangat kental. Jiwa kesatria untuk mengakui kesalahan dan ketidakmampuan tertanam dalam diri para pemimpin mereka.
Sering pemimpin, baik instansi pemerintah maupun swasta, meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan oleh bawahannya. Bahkan tidak jarang pemimpin yang mengundurkan diri karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi memimpin. Yang terbaru adalah, pengunduran diri Perdana Menteri Jepang, Yasuo Fukuda pada hari Senin, 1 September 2008. Dalam pidatonya, beliau menyebutkan alasan pengunduran dirinya adalah karena dia merasa sudah tidak sanggup lagi mengatasi kebuntuan politik di parlemen. Demi kepentingan yang lebih besar (bangsa dan negara), beliau menyatakan mengundurkan diri dan beliau yakin bahwa banyak lagi yang bisa jadi pemimpin yang akan menggantikannya akan mampu membawa Jepang keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebuah pidato yang mensiratkan bahwa beliau dengan ikhlas mundur karena beliau merasa sudah tidak mampu lagi menjadi Perdana Menteri. Pidato pengunduran diri yang belum pernah kita dengar di Republik Indonesia tercinta.
Terlalu jauh saya melihat dan membanggakan para pemimpin dari Jepang, Korea, USA dan sebagainya karena mereka tidak menjadikan jabatan sebagai tuhan. Banyak pemimpin atau calon pemimpin RI yang menjadikan jabatan sebagai Tuhan gaya baru dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan jabatan itu. Padahal jabatan hanya sekitar untuk 5 tahun saja bagi Bupati, Gubernur, atau Presiden atau 25 untuk PNS, setelah itu harus dipertanggung jawabkan dihadapan hukum, masyarakat dan Tuhan di akhirat.
Ternyata ada juga pemimpin RI yang berjiwa besar seperti orang Barat, Eropa atau Asia lainnya. Mereka hanya menjadikan jabatan sebagai alat untuk berbakti kepada rakyat, agama dan Negara. Maka disaat apa yang dilakukannya jauh dari tujuannya, maka dengan tidak merasa sayang dia meninggalkan jabatan itu.
Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak sehaluan lagi dengan Soekarno. Soekarno yang di tunjuk sebagai sopir ketika itu membawa mobil ini kearah yang tidak sesuai dengan apa yang dulu sama-sama diperjuangkan di cita-citakan oleh para tokoh pejuang kemerdekaan tidak sesuai. Hatta merasa tidak cocok lagi dengan Soekarno selaku presiden. Ia menganggap rekannya dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia itu sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin dengan cara non-demokratis. Sebagai pejuang demokrasi, Hatta tidak bisa menerima perilaku Soekarno. Dalam sebuah wawancara, putri Hatta, Meuthia, menyatakan, "Setelah agak besar, saya mengetahui pengunduran diri itu dilakukan karena perbedaan prinsip." Pada 1960, Hatta menulis Demokrasi Kita di majalah Pandji Masyarakat. Ini sebuah risalah yang menonjolkan pandangan dan pikiran Anak Minang itu mengenai demokrasi di Indonesia. Tentu saja, tulisan tersebut sarat dengan kritik terhadap praktik Demokrasi Terpimpin saat itu. Setelah Hatta mundur, di Indonesia tidak ada lagi seorang wakil presiden yang mendampingi Soekarno. Praktis sejak 1956-1967, Soekarno menjalankan roda pemerintahan seorang diri. Indonesia baru memiliki wakil presiden pada 1973, bukan untuk mendampingi Soekarno melainkan Suharto . Ibrahim mengundurkan diri dari Jabatan Gubernur Sumatera Barat. Keputusan gubernur Sumbar mengundurkan diri menunjukkan sikapnya yang ksatria, dan menantang kesemena-menaan pemerintah pusat. Lebih baik mundur daripada bekerja sama dengan otoriter. Habibie dalam ini kembali membuktikan bahwa ia bagian dari orde baru, mempertahankan cara-cara pemaksaan kehendak yang biasa dilakukan Suharto. Beliau terkenal sebagai pribadi yang jujur, tidak mabuk kekuasaan dan harta. Mundurnya beliau membuktikan demikian kuatnya tekanan pemerintah pusat terhadap daerah, otonomi yang didengung-dengungkan tidak lebih dari tahi kucing. Apa sebetulnya yang dikehendaki pemerintah pusat dengan memaksakan wakil gubernur tanpa lewat cara-cara yang demokratis. Proyek pemenangan Golkar, untuk menutupi kasus-kasus korupsi di Sumbar, tidak sedianya gubernur Sumbar untuk berbuat mencurangi anggaran/proyek, dll. Karena pak Ibrahim bukannya tipe orang yang mau menjual diri.
Bila dibandingkan dengan Soekarno dan Soeharto yang bercita-cita mahu menjadi presiden seumur hidup dan tidak mahu turun kecuali diturunkan, atau Gusdur yang tidak mau dan harus dipaksa keluar dari Istana negara setelah diberhentikan dari jabatan Presiden oleh DPR/MPR atau ramai lagi pemimpin sekarang ini yang mabuk kekuasaan dan wang yang menjadikan jabatan sebagai tujuan (tuhan) bukan alat untuk membela nasib-nasib rakyat. (Pemimpin Contoh; Afriadi sanusi Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 02/12/08, www.okezone.com).
Menurut Irjen Pol Herman SS, Pilkada Jawa Timur yang akhirnya memenangkan pasangan Sukarwo dan Syaifullah Yusuf penuh dengan kecurangan dan mengandung unsur pidana. Kuatnya bukti pidana dalam penentuan daftar pemilih tetap di wilayah Sampang dan Bangkalan menjadikan Ketua KPUD Jawa Timur, Wahyudi Purnomo menjadi tersangka. Namun tak lama setelah penetapan tersangka itu, jabatan Herman pun dicopot dan digantikan oleh Brigjen Pol. Anton Bahrul Alam, disusul dengan perubahan status Ketua KPUD yang awalnya telah ditetapkan menjadi tersangka menjadi saksi.
Menurut Herman, salah satu faktor pencopotannya dari jabatan Kapolda Jawa Timur erat kaitannya dengan kasus Pilkada Jawa Timur. Tapi pernyataan Irjen Pol Herman S Sumawiredja dibantah Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanagara. Menurut Makbul, pencopotan mantan Kapolda Jawa Timur, Irjen Herman S. Sumawiredja tidak ada kaitannya dengan kasus dugaan kecurangan Pilkada Jatim yang akhirnya menetapkan Ketua KPUD Jawa Timur Wahyudi Purnomo sebagai tersangka. Makbul menilai, perubahan status Ketua KPUD Jawa Timur dari tersangka menjadi saksi itu berdasarkan hasil supervisi Kabareskrim Polri selaku pembina fungsi penyidik. Penurunan status tersangka menjadi saksi dilakukan mengingat belum adanya bukti kuat dan keterangan saksi yang bisa menjerat Ketua KPUD Jatim menjadi tersangka.
Pengunduran diri ini dinilai sangat gentlemen, walaupun pada akhirnya Herman sendiri menjadi ragu-ragu setelah bertemu dengan kapolri langsung. Pengunduran diri karena alasan tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik, atau karena merasa gagal menjalankan tugas adalah sangat positif. Tetapi budaya ini belum lazim di Indonesia, karena pengunduran diri seorang bawahan bisa mencemarkan nama baik atasan dan institusi tempat orang itu bekerja, yaitu Polri. Pada akhir episode ini herman belum diijinkan keluar dari Polri oleh orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia.
Fungsi dan peran Polri.
Sesuai Tap MPR No VII/MPR/2000 pasal 10, kedudukan Polri berada dibawah Presiden, Polri bersikap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. Namun karena kedudukannya yang langsung berada di bawah Presiden, berarti presiden dapat memberikan pengaruhnya sebagai bagian dari hak prerogratif. Sepanjang pengaruhnya adalah untuk kebaikan negara, maka Polri akan menjadi lebih baik ke depan.
Menurut Makbul, dalam kasus itu Herman telah terburu-buru menetapkan status Wahyudi. Sebab, berdasarkan pemeriksaan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji ke lapangan, kasusnya belum bisa ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Kemudian saat melaporkan dugaan kecurangan ke polisi, Panitia Pengawas Pemilu hanya melampirkan fotokopi DPT. Panitia Pengawas yang berjanji akan menyerahkan DPT asli di kemudian hari, tapi kenyataannya tak diserahkan ke penyidik. Selain itu, ditambahkan, bahwa polisi juga belum mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke kejaksaan. Sehingga, syarat untuk menjadikan Wahyudi tersangka belum cukup
Kemudian, Makbul membantah pencopotan Herman terkait kasus itu. Menurutnya, pencopotan itu adalah hal biasa menjelang pensiunnya Herman di bulan Mei. Pimpinan Polri juga sepakat untuk melakukan penggantian Kepala Polda yang pensiun di hari-hari puncak pemilihan umum.
Menyikapi Mundurnya Irjen Pol Herman Surjadi Sumadiredja dinilai sebagai tamparan keras bagi Polri. Lembaga kepolisian pun diminta untuk mengintrospeksi diri. Apalagi muncul dugaan adanya intervensi kasus. Hal Ini merupakan tsunami besar yang melanda Polri di tengah upaya semua pihak menciptakan Polri yang berintegritas profesional dan independen. Di lain pihak, Sebagai partai pengusung Khofifah Indar Parawansa, PPP melihat adanya dugaan intervensi dalam pemalsuan DPT di Pilkada Jatim sebagai tamparan luar biasa bagi semua pihak..
Kenyaraan yang terjadi adalah bahwa Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Polisi Daerah Jawa Timur. Tudingan kemudian muncul bahwa pencopotan Kapolda jatim tersebut terkait dengan kasus Pilkada Jatim, Tapi menanggapi hal ini Polri membantah. Dalam pandangan polri tidak ada istilah pencopotan. Hal itu hanya sekdar untuk gigi. Yang merupakan proses alamiah dan sebagai hal yang biasa.
Dalam jumpa pers, Makbul khusus menanggapi mundurnya Herman, di Mabes Polri pada Selasa (17/3), Menurutnya, tahun 2009 ini digelar pemilu tahap inti. Dan dari tanggal 16 Maret sampai Pemilu Presiden nanti terdapat proses yang cukup panjang. Jadi berdasarkan perkiraan dan sebagainya bahwa dalam tahun 2009 dalam menginjak tahapan pemilu inti itu tidak ada lagi mutasi-mutasi untuk kepala satuan wilayah (Kasatwil) dan pejabat tertentu di Polda.
Dan jabatan Kasatwil itu adalah jabatan Kapolda, Kapolres, Kepala Biro Operasi, dan intelijen atau yang menentukan pengamanan pemilu sehingga kebijakan Kapolri atas rujukan para staf, untuk para Kasatwil yang kelahirannya pada saat pemilu berlangsung untuk dilakukan mutasi, bukan pensiun. Hal ini sesuai dengan UU No 2 Tahun 2002, pensiun itu umur 58 tahun kalau di bawah itu kalau mengundurkan diri dengan alasan tertentu bisa saja dilakukan.
Dalam banyak hal, sejumlah pihak merasa ada tarikan kepentingan yang kuat dari penguasa atau kekuatan politik tertentu terhadap Polri dalam proses demokrasi di Indonesia. Hal itu sangat terasa dalam kasus Pilgub Jatim, yang mendorong pengunduran diri mantan Irjen (Pol) Herman Surjadi Sumawiredja dari Polri, setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Jatim. Untuk itu, banyak pihak menyerukan permintaan agar Polri bisa bersikap netral, terutama menjelang Pemilu Legislatif, serta Pilpres, Juli mendatang. Melihat ini, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menyatakan, bahwa terlihat kembali adanya indikasi ketidaknetralan Polri dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia seperti contoh Kasus pada Pilgub Jatim yang baru lalu. Ray Rangkuti juga mendesak Komisi III DPR yang membidangi hukum, harus segera memanggil Kapolri dan meminta penjelasan tentang dibalik pencopotan Herman sebagai Kapolda Jatim, yang pada kahirnya memaksa yang bersangkutan mengundurkan diri dari Polri, lantaran kekecewaannya terhadap sikap Mabes Polri tersebut. Pengunduran diri Herman dari Polri tidak bisa dianggap remeh, dan tidak bisa dilihat hanya dari aspek bahwa yang bersangkutan mendekati masa pensiun.
Sikap Herman yang dipicu kekecewaan karena intervensi Mabes Polri saat pihaknya mengusut dugaan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, serta penetapan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka, merupakan pesan penting bagi publik menjelang pemilu, terutama terkait netralitas aparat negara.
Terkait dengan hal ini, juru bicara 15 parpol yang tergabung dalam Blok Perubahan, Adhie Massardi menilai bahwa ada indikasi Polri menjadi bagian dari tim pemenangan pemilu untuk kekuatan politik tertentu. Jika Kapolri tidak menjelaskan secara terbuka, rakyat bakal sangsi Polri akan netral dalam Pemilu nanti. Senada dengan itu, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyatakan, pengunduran diri Herman membuktikan masih ada tarikan kepentingan politik kekuasaan yang bisa mengancam netralitas Polri sebagai pemegang kuasa pengamanan. LSM tersebut khawatir, Pemilu Legislatif dan Pilpres mendatang akan dicemari manipulasi yang justru disokong aparat keamanan, yang seharusnya menjamin berlangsungnya pesta demokrasi secara jujur, adil, bebas, dan rahasia.
Pengunduran diri Herman, pada akhirnya menyadarkan peserta pemilu mengenai potensi manipulasi DPT. Seluruh parpol peserta pemilu mulai memperketat mekanisme pengawasan seluruh tahap pemilu. Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Ali Kastella menjelaskan, untuk mengantisipasi manipulasi DPT, Hanura sudah menyiapkan saksi-saksi yang akan ditempatkan mulai dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga penghitungan terakhir di tingkat nasional. Saksi tidak hanya memantau jalannya pemungutan suara, tetapi juga ikut mengawasi jumlah pemilih tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU. Sejalan dengan itu, Ketua Umum DPP Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Mentik Budiwijono melihat titik krusial suksesnya pemilu ada pada profesionalitas dan independensi instrumen pelaksana yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan Panwaslu, serta instansi terkait seperti Polri. Meski demikian, PPDI juga akan menyebar saksi dan kadernya, tak hanya di TPS, tetapi juga di lingkungan TNNI dan Polri, untuk mengawasi netralitas kedua aparat negara tersebut.
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menyayangkan kinerja KPU yang tidak mampu menjamin DPT bebas dari manipulasi. Untuk itu, Bawaslu diminta terus mengawal DPT. Secara terpisah, pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens menegaskan, KPU harus mampu menjaga independensinya. Dan mengingatkan, kehadiran saksi di tiap TPS hanya efektif dalam proses pemungutan hingga penghitungan suara. Ditambahkan pula, sesuai UU, Menteri Dalam Negeri dapat mengambil alih tugas KPU terkait dengan DPT. Jika KPU dianggap gagal dan diambil alih Mendagri, itu sangat fatal, dan berpotensi sangat kental aroma kepentingan incumbent.
Menyikapi pengunduran diri mantan Kapolda Jatim Irjen (Pol) Herman Surjadi Sumawiredja, dan pengungkapan adanya intervensi Mabes Polri dalam penanganan dugaan manipulasi DPT di Kabupaten Sampang dan Bangkalan, Madura, kubu "Kaji" (Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono) mendesak Polri tetap mengusut kasus tersebut hingga tuntas. Mudjiono menegaskan, jika Polri tidak melanjutkan penyelidikan, pihaknya akan memperkarakan Polisi.
Meskipun sebagai pihak yang dirugikan dalam kasus tersebut, Mudjiono, parpol dan pendukungnya untuk menahan diri dan menyerahkan kasusnya ke penegak hukum. Ia jugamenyebut, langkah tim "Kaji" menggugat kecurangan dalam pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang adalah memerangi kejahatan politik yang dapat merusak tatanan demokrasi di Jatim. Ia tidak sepakat dengan penilaian banyak pihak yang menyebut kejahatan politik pada Pilgub Jatim pada putaran kedua sangat luar biasa.
Sedangkan Gubernur Jatim Soekarwo menegaskan, pengunduran diri Herman dari Polri karena kecewa terhadap sikap Mabes Polri dalam penanganan dugaan kecurangan saat Pilgub Jatim, tidak mengurangi legitimasi dirinya bersama Saifullah Yusuf, sebagai gubernur dan wagub. Dengan demikian, dia berharap, itu tidak mengganggu jalannya pemerintahan Jawa Timur yang diembannya.
Diakui atau tidak, kasus mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja yang dicopot dari jabatannya cukup menampar muka Polri sendiri sebagai lembaga penegak hukum, karena mau tidak mau kasus ini telah menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat. Apalagi embel-embel kasus itu sebagaimana pernyataan Herman, ada intervensi Mabes Polri terkait perkara dugaan pemalsuan suara pada Pilkada Jatim baru lalu dan telah ditetapkannya Ketua KPUD Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka.
Herman juga secara khusus menggelar jumpa pers, menjelaskan tentang kasus pencopotan dirinya dan adanya intervensi Mabes Polri terhadap kasus yang sedang ditanganinya. Kendati memang akan memasuki masa pensiun beberapa bulan lagi ( 1 Juni 2009), Herman menyatakan mundur dari keanggotaan Polri.
Menanggapi pernyataan ini, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) terkesan reaktif dan menyampaikan klarifikasi terkait pernyataan Herman, dan menegaskan tidak ada persoalan dalam pergantian Herman sebagai Kapolda. Kasus pencopotan Kapolda Jatim dan aksi Irjen Pol Herman sendiri, paling tidak menyisakan dua pertanyaan; Pertama, apakah kalau tidak ada apa-apanya bila dianggap wajar dan biasa saja, tidak mungkin Herman bertindak sebodoh itu. Sebab, bukankah masa pensiunnya sebagai perwira tinggi tinggal menghitung bulan, dan kalau dia baik-baik saja alias nrimo terhadap segala kebijakan Mabes Polri tentu dia akan dengan tenang memasuki masa pensiun secara terhormat. Apakah kalau kasus ini tidak ada ''apa-apanya" seorang Irjen Pol yang segera memasuki masa pensiun mau mengambil tindakan yang jelas-jelas menempatkan dirinya berhadapan dengan Mabes Polri yang selama ini membesarkannya ?
Kedua, bagaimana kelanjutan dan penyelesaian kasus dugaan pemalsuan suara yang tersangkanya adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur ? Bukankah kasus ini sangat serius mengingat proses Pilkada yang baru dilalui Jawa Timur sarat dengan tudingan manipulasi dan sangat kontroversi ?
Perlu dicatat, bahwa kasus Pilkada Jatim sarat dengan dugaan-dugaan manipulasi sehingga Mahkamah Konstitusi memerintahkan dilakukannya pemilihan ulang di beberapa daerah. Kasus Pilkada Jatim dimana dua pihak yang bertarung (kontes) memiliki perbedaan perolehan suara yang sangat tipis, termasuk kasus kontroversi. Dalam kaitan ini masyarakat tidak melihat siapa pejabat yang menanganinya. Masyarakat hanya melihat lembaga Polri, dalam hal ini Polda Jawa Timur yang telah menetapkan Ketua KPU Jatim sebagai tersangka. Karenanya, apa pun penjelasan Mabes Polri terhadap kasus ini “kalau tidak hati-hati” hanya akan membuahkan sinisme di tengah masyarakat. Masyarakat akan curiga bahwa ternyata Mabes Polri ikut bermain politik.
Masyarakat meminta komitmen dari Mabes Polri dan dari Kapolri sendiri agar kasus ini betul-betul ditangani secara hukum, tidak dimentahkan, dan tidak ada hal-hal yang ditutupi. Tak berlebihan jika dikatakan kasus ini merupakan salah satu ujian, taruhan atas independensi Polri sebagai bhayangkara Negara. Dalam hal ini hendaklah seluruh pimpinan Polri bijak dan tidak sampai terpengaruh oleh kepentingan politik dari siapa pun datangnya.
Selain karena alasan hukum, kasus ini juga menjadi taruhan atas tegaknya demokrasi yang fair dan jurdil di negeri ini. Rakyat toh tidak bisa berbuat apa-apa apabila lembaga Negara sendiri tidak mau menjaga dan melaksanakan tanggungjawab atas terbangunnya demokrasi yang sehat di negeri ini. Kalau demokrasi rusak, pada gilirannya rakyat juga akan ikut-ikutan rusak. Dan kalau ini sampai terjadi, alamat kembalinya kekuasaan di negeri ini ke tangan rezim otoritarian sulit dhindari.
Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pencopotan kapolda Jatim lebih disebabkan karena adanya intervensi mabes Polri dalam pemutusan kasus adanya keterlibatan ketua KPUD Jatim yang pada awalnya ditetapkan sebagai tersangka kemudian berubah menjadi saksi. Hal ini kemudian menjadi suatu kekecewaan dari Kapolda Jatim yang telah memutuskan kasus ini dengan sejumlah bukti dan berkas penyidikannya sebelumnya. Sehingga dengan demikian Kapolda akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya bahkan dari keanggotaan Polri. Tindakan ini merupakan tindakan yang luar biasa dan mengejutkan berbagai kalangan khususnya Polri sendiri. Penyelesaian kasus ini akan menjadi batu ujian bagi kejujuran dan kewibawaan para penegak hukum nasional.
Demikian tulisan mengenai pencopotan kapolda Jatim dikaitkan dengan Pilkada Gubernur Jatim ini dibuat, semoga bermanfaat.

Bandung, 30 Maret 2009

Referensi :
1. Republika/Kam: Mahfud Penulis:Effendy | VO:Maya | Editor Video:Fajar |).
2. UU No 2 Tahun 2002.
3. Tap MPR No VII/MPR/2000 pasal 10.
4. Pemimpin Contoh; Afriadi sanusi Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 02/12/08, www.okezone.com.

Tidak ada komentar: