Rabu, 27 Mei 2009

Tanggapan Masyarakat Terhadap Jumlah Peserta Partai Pemilu
Oleh : Sapuan, S.Sos

Jumlah partai politik yang akan bertarung pada Pemilihan Umum tahun 2009 mencapai 38 partai politik (http://www.inilah.com/berita/2008/08/15KPU ), hal ini jauh lebih besar dibanding dengan pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh hanya 24 partai. Ini berarti bahwa upaya penyederhanaan jumlah partai dinilai telah gagal. Yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa banyaknya partai tak juga mendorong munculnya solusi terbaik untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dan negara ini dari kenyataan keterpurukan ekonomi dan kinerja pemerintahan yang begitu-begitu saja.
Keinginan sejumlah kalangan yang menghendaki adanya penyederhanaan partai politik yang akan bertarung, dirasa merupakan sebuah solusi untuk merampingkan jumlah partai politik, juga untuk menyehatkan persaingan serta pembiayaan pemerintah akan dana dalam mewadahi partai politik serta hal-hal lain yang terkait, namun tidaklah berhasil. Hal ini tentunya akan menjadikan sebuah kenyataan bahwa pemborosan uang negara terkait dengan pembiayaan partai politik, dana Pemilu juga hal-hal lain yang terkait dengannya tidaklah dapat dicegah, juga dengan banyaknya partai ini bukanlah sebuah solusi dalam memperbaiki kinerja serta ekonomi negara. Sisi lain rakyat akan dibingungkan untuk memilih partai mana yang pantas baginya, dihadapkan dengan keterbatasan pendidikan politik dan kesiapannya mejadikan sebuah fenomena yang sedang terjadi saat ini menjelang Pemilu pada April 2009 yang akan datang.
Hal ini merupakan latar belakang permasalahan yang ada saat ini. Oleh karenanya, dapatlah ditarik sebuah rumusan permasalahan : Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap peserta partai pada Pemilu 2009 yang relatif banyak ini ?
Kenyataan yang ada saat ini dengan banyaknya jumlah partai peserta pemilu 2009 bukanlah datang secara kebetulasan semata. Dimasa lalu dan sedang terjadi sudah lama muncul suara bahwa jumlah partai politik terlalu banyak, yang berakibat pelaksanaan pemerintahan berjalan dengan rumit. Terlalu banyak kepentingan yang harus dinegosiasikan antara DPR dan pemerintah. Karena itu muncul gagasan untuk menyederhanakan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang lebih sederhana, misalnya jumlah partai yang mendapat kursi efektif di DPR tidak lebih dari tiga kursi.
Dari kenyataan yang ada pula, partai-partai yang akan berlaga tak satu pun, baik partai yang masih baru ataupun yang telah lama, tidak mampu menawarkan program yang jelas, realisitis dan mencerahkan bagi masyarakat. Oleh karenanya, antusiasme masyarakat menyambut pemilu tahun 2009 ini tidaklah akan sama seperti pada tahun 1999 yang lalu. Namun demikian, banyak partai baru muncul dengan sejumlah gagasan segar, antusiasme masyarakat yang berkembangpun tumbuh karena tokoh-tokoh yang tampil adalah tokoh baru. Citra mereka belum terlihat baik buruknya, sehingga publikpun masih bersemangat untuk memilihnya.
Kini sebagian besar politikus, termasuk yang tampil di partai baru, sudah jelas rekam jejaknya. Mereka umumnya telah larut dalam praktek yang korup sehingga gagal mengemban cita-cita reformasi. Semakin terasa, politik bagi sebagian kalangan politikus benar-benar demi kekuasaan semata, bukan untuk mewujudkan masyarakat dan negara yang lebih baik.
Partai-partai politik juga tampak gagap menanggapi situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang. Sebagian besar mereka mengecam keras kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Tapi mereka tak bisa pula menawarkan solusi ampuh buat mengatasi kesulitan ekonomi. Ada kesan, kritik itu cuma upaya menuai simpati rakyat yang amat terpukul dengan kebijakan pemerintah.
Sejauh ini sebagian besar partai juga tidak mengangkat pentingnya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi. Padahal inilah kunci untuk membuat negara ini lebih baik. Tak cuma di berbagai lembaga pemerintah, korupsi di lembaga yudikatif dan legislatif juga perlu dibasmi. Hanya dengan cara ini penyelenggaraan negara bisa lebih efisien, dan semakin banyak porsi anggaran yang benar-benar dinikmati rakyat.
Partai-partai enggan bersuara keras mengenai pemberantasan korupsi karena sebagian kader mereka terjerat dalam kejahatan ini. Yang terjadi malah sebaliknya. Tokoh-tokoh partai justru mengkritik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah anggota legislatif yang tersangkut kasus suap.
Sikap seperti itu harus diakhiri. Mestinya kalangan partai berlomba-lomba memerangi korupsi demi menarik simpati rakyat. Ini bisa dimulai dengan membersihkan partainya sendiri. Kader-kadernya yang korup, baik di lembaga legislatif maupun pemerintah, harus disingkirkan. Tampilkanlah kader-kader yang belum tercemar dan memiliki integritas tinggi karena pasti lebih memikat khalayak.
Memang cara itu belum memberi solusi bagi perbaikan negara ini. Tapi, dengan tampil bersih, partai-partai setidaknya bisa membawa harapan baru. Jika mereka benar-benar bertekad membangun negara yang lebih bersih, bebas dari korupsi, sikap ini sudah menjadi bentuk solusi itu sendiri.
Sejalan dengan itu, kemunculan banyaknya partai politik yang ada saat ini, bermula dari sikap politikus DPR yang egoistis dalam menyusun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Mereka melonggarkan persyaratan sehingga partai yang hanya memiliki satu kursi di DPR pun boleh lagi ikut pemilu. Padahal, pada undang-undang sebelumnya, hanya partai dengan kursi minimal 3 persen dari jumlah kursi di lembaga legislatif yang bisa langsung ikut pemilu. Perubahan ini terjadi lantaran partai-partai kecil di parlemen ngotot ingin ikut pemilu lagi dengan cara gampang.
Akibat tidak adanya konsistensi aturan main, masalah keadilanpun diabaikan. Sekarang partai politik seperti Partai Bulan Bintang otomatis boleh ikut pemilu kendati kursinya kurang dari 3 persen di DPR. Bandingkan dengan nasib yang dulu dialami oleh Partai Keadilan. Partai ini harus mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera, kemudian ikut lagi dalam proses verifikasi, baru kemudian bisa menjadi peserta pemilu.
Kemungkinan membludaknya peserta pemilu juga disebabkan oleh antusiasme politikus di luar parlemen yang tak surut membuat partai baru. Semangat ini memang harus tetap dihargai karena konstitusi, juga undang-undang, menjamin kebebasan mendirikan partai. Persoalannya, puluhan partai baru yang muncul sekarang tak menawarkan ideologi baru. Platform mereka juga tak jauh berbeda dengan partai yang sudah ada.
Mekanisme demokrasi memang memungkinkan proses penyederhanaan partai berlangsung secara alami. Hanya partai yang benar-benar diperlukan warga yang akan eksis. Tapi proses ini sebenarnya bisa dipercepat jika para politikus memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkannya.
Namun sekali lagi bahwa kenyataan untuk mewujudkan penyederhanaan partai saat ini hanyalah tinggal sebuah mimpi, yang pada akhirnya sejumlah 38 buah partai akan tetap berlaga untuk memperebutkan sejumlah kursi baik di tingkat daerah (TK I dan II) maupun di tingkat pusat.

Menanggapi hal ini, masyarakat hanyalah dijadikan sebagai komoditas dalam mengumpulkan sejumlah suara guna kepentingan segelintir orang yang ada di partai politik untuk bisa menduduki bangku legislasi baik di daerah maupun di pusat. Masyarakat secara umum bingung untuk memilih partai mana yang bisa mewakili aspirasinya. Dalam pandangan mereka, mereka tidaklah merasa menikmati hasil dari perjuangan para wakil rakyatnya yang selama ini duduk di bangku legislasi. Dalam pemikiran mereka yang ada adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk bisa tetap bertahan hidup dan menghidupi keluarganya.
Membengkaknya jumlah partai menjadi konsekuensi logis fenomena kawin cerai partai politik. Namun, permasalahannya bukan terletak pada jumlah partai yang besar, melainkan terletak pada kualitas kader yang disiapkan dan pelembagaan fungsi-fungsi yang sejatinya dijalankan partai.
Hasil Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap partai politik (parpol) menurun. Namun, justru banyak masyarakat yang berlomba-lomba membuat parpol baru. Apa yang mendasari terjadinya fenomena seperti ini? Menurut Pengamat politik dari Universitas Paramadina,Bima Arya Sugiarto munculnya parpol baru di tengah keterpurukan saat ini di sebabkan oleh, pertama, banyak elite politik yang berharap kejenuhan pada parpol lama dapat teraktualisasikan pada parpol baru. Kedua, banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada beberapa petinggi politik yang mencari jalur kekuasaan dengan cara instan. Sebab, jika menggunakan parpol lama, dibutuhkan waktu yang relatif lama karena harus bersaing dengan tokoh-tokoh lain dalam satu gerbong. Kenyataannya, parpol-parpol yang baru muncul pun diprakarsai para tokoh stok lama hanya dengan kostum baru. Ketiga, ada kecenderungan elite politik yang berjualan, yakni dengan menciptakan satu kendaraan politik baru dan kemudian dijual pada pihak lain. Dengan motif ini, kan mendapatkan keuntungan secara materi.
Tetapi anehnya berdasarkan Indonesia Polling yang melaksanakan polling tanggal 14-22 Mei 2008 di 33 provinsi seluruh Indonesia sebanyak 95,01 % responden menyatakan akan berniat ikut memilih pada Pemilu & Pilpres 2009 mendatang.
Ini adalah kondisi yang berbalikan dengan kenyataan di lapangan , bahwa jumlah partai yang relatif banyak tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat, tetapi mereka tetap semangat untuk memilih. Hal ini menurut pendapat pribadi saya, bahwa pemilu atau yang dikenal dengan pesta demokrasi telah menjadi pesta rakyat berupa peningkatan perekonomian dan perluasan lapangan kerja secara instan. Contoh yang pasti adalah membludaknya iklan diri calon legislatif yang dipasang sepanjang jalan. Iklan ini nilainya sampai bermilyar-milyar dan itu menjadi nilai positif bagi masyarakat. Belum lagi partai yang berani membagi-bagi duit untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat saat kampanye. Tentu money politik ini tidak diartikan sebagai pelanggaran undang-undang, tetapi justeru menjadi moment yang sangat dinantikan oleh masyarakat kita yang notabene sebagian besar berada dalam kelompok ekonomi menegah ke bawah.
Kiranya tidaklah berlebihan bahwa penambahan partai akan berakibat menambah kebingungan rakyat untuk memilih partai dan siapa yang bisa mewakili aspirasinya bagi hidupnya di masa mendatang.
Dari uraian di atas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa, penambahan partai politik yang lebih banyak dari Pemilu sebelumnya adalah sebuah bentuk demokrasi penyaluran aspirasi bagi sejumlah kalangan yang menghendaki lepas dan membentuk partai baru, namun di sisi lain hal ini akan menambah sederetan kebingungan rakyat dalam memberikan dukungannya bagi partai politik yang hendak dipilihnya.
Demikian tulisan mengenai Tanggapan Masyarakat terhadap peserta partai yang relatif banyak ini dibuat, semoga bermanfaat.


Bandung, 27Januari 2009

Tidak ada komentar: